LAMPUNG, Legion News – Mau nangis rasanya baca berita, seorang ayah di Kedaton, Lampung, terpaksa mencuri laptop agar anaknya bisa mengikuti belajar daring. Ketahuan, ia ditangkap polisi.
Di Kabuh, Jombang, Jatim, petani terpaksa jual kambing untuk beli ponsel. Agar dua anaknya bisa belajar daring. Bu Karlik, petani itu, pagi-pagi menemani anaknya belajar daring di rumah warga yang menyediakan fasilitas WiFi.
Teman yang kerja di toko HP cerita, banyak orang kredit HP ke tokonya untuk anaknya yang belajar daring. Cerita serupa, bahkan yang lebih pahit, mudah sekali kita lihat, dengar, atau saksikan sendiiri terkait pembelajaran daring.
Orangtua menempuh banyak cara, mengorbankan harta tak seberapa, bahkan mengorbankan harga dirinya demi sekolah anaknya. Termasuk mengorbankan waktu dan perasaan, serta uang belanja dapur untuk beli kuota, mendampingi anak belajar, yang lebih banyak dukanya dibanding sukanya.
Pandemi covid berbuah banyak kisah nestapa. Termasuk di lingkup pendidikan, sekolah. Bukan hanya keluarga siswa yang terhimpit oleh biaya eksta. Juga sekolah (swasta) dan guru-gurunya ikut kalang-kabut.
Beberapa hari lalu ada berita tunjangan profesi guru distop. Guru-guru protes. Dan sangat wajar guru protes. Saat dapur sudah terganggu pandemi, rejeki yang ada dipotong pemerintah pula.
Di saat keluarga siswa, sekolah, dan guru, kalang-kabut memyiasati biaya belajar online, eh pemerintah (Kemendikbud) malah akan ngasih hibah ke yayasan milik konglomerat yang menyelenggarakan pelatihan guru. Rp 20 M masing-masing untuk Tanoto Foundation, dan Sampurna Foundation dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud. Dua lembaga itu ikut mengajukan proposal dan lolos seleksi POP. Karena itu berhak mendapatkan hibah Rp 20 M dari Kemendikbud.
Aneh, ironis, susah dicerna akal sehat. Kontan saja Muhammadiyah, NU, PGRI protes terhadap kebijakan kontroversial itu. Kemudian ketiga organisasi itu mundur dari program Organisasi Penggerak Kemendikbud.
Rasanya nyeri dan ngilu oleh ketidakadilan pemerintah. Apa salah dan dosa anak negeri ini punya penyelenggara negara yang tak jelas keberpihakannya?