Sengkarut Permasalahan PPDB, Komisi X DPR Minta Kemendikbudristek Lakukan Perbaikan, Dede Yusuf: Kembali ke Sistem NEM

FOTO: Seorang pelajar bermukim di Perumnas BTP yang gagal masuk SMAN 21 Makassar melakukan aksi coret baliho Kadisdik Sulsel. Senin (24/7/2023)
FOTO: Seorang pelajar bermukim di Perumnas BTP yang gagal masuk SMAN 21 Makassar melakukan aksi coret baliho Kadisdik Sulsel. Senin (24/7/2023)

LEGIONNEWS.COM – JAKARTA, Sengkarut permasalahan PPDB sistem zonasi di Indonesia menjadi perhatian Komisi X DPR RI. Diketahui bersama belakang ini permasalahan sistem zonasi di Sulawesi Selatan terjadi keributan, terbaru warga di BTP, Kecamatan Tamalanrea menggelar aksinya terkait penerimaan siswa baru di SMAN 21 Makassar.

Akibatnya para orang tua siswa menggelar aksi unjuk rasa di kantor dinas pendidikan Sulsel di Jalan Perintis Kemerdekaan, tidak puas mereka pun menggelar aksi lanjutan ya di kantor gubernur Sulsel.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, memberi perhatiannya dengan meminta Kemendikbudristek melakukan perbaikan dengan mencari solusi dari polemik yang terjadi.

“Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya,” kata Dede Yusuf dalam keterangannya, Kamis (27/7/2023).

Advertisement

Dede pun mengusulkan penerimaan siswa baru dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yakni seleksi berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah seperti saat masih ada NEM (Nilai EBTANAS Murni). Namun sistem seperti ini diselaraskan dengan kebutuhan di masing-masing daerah.

“Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian), misalnya bisa kembali kepada sistem ‘NEM’, namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi,” ujarnya.

“Jadi sistem zonasi-nya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20%, lalu ada sistem prestasi, itu non-akademik,” imbuhnya.

Selain pengembalian sistem, Dede juga meminta pemerintah mempertimbangkan untuk mengambilalih tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Seperti dengan memberi bantuan dana atau subsidi untuk siswa yang akhirnya terpaksa bersekolah di sekolah swasta, khususnya bagi anak dari keluarga kurang mampu.

“Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap,” tutur Dede.

Melihat kompleksnya persoalan penerimaan siswa baru, Komisi X DPR tengah mempertimbangkan dibentuknya panitia kerja (panja) PPDB. Selain untuk mencari solusi terkait sistem penerimaan siswa baru, menurut Dede, Panja PPDB juga bisa bekerja menangani banyaknya temuan pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum tertentu.

“Sekarang tugas pemerintah merespons apabila temuan Ombudsman merujuk adanya pelanggaran administratif oleh guru dan pejabat-pejabat terkait. Kita pantau, kalau perlu sehabis reses bikin Panja PPDB,” ujarnya.

Di sisi lain, Dede menyoroti data dari UNICEF yang menyebut sekitar 4,1 juta anak-anak di Indonesia rentang usia 7-18 tahun tidak mendapat pendidikan atau bersekolah pada tahun 2021. Angka ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan tidak ada anak yang tidak bersekolah pada tahun 2030.

Merujuk Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, Dede mengingatkan bahwa Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk menjamin setiap anak bangsa bisa bersekolah demi masa depan yang baik.

Pendidikan merupakan hak anak yang harus dilindungi oleh negara. Dengan pendidikan, anak-anak dapat mengembangkan potensi mereka dan menjadi SDM unggul yang berkualitas,” ucapnya.

Oleh karena itu, Dede berharap permasalahan PPDB dapat segera diselesaikan sehingga negara dapat memenuhi kewajibannya sesuai amanat konstitusi UUD 1945.

“Polemik PPDB harus segera diselesaikan, dibarengi dengan upaya Pemerintah untuk melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan meningkatkan jumlah sekolah serta kualitas gurunya. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh jika ingin mempertahankan sistem PPDB zonasi,” tutur Dede.

Seperti diketahui, banyak kecurangan terhadap praktik PPDB berbasis zonasi. Mulai dari temuan Kartu Keluarga (KK) palsu, sisipan nama pada KK sebagai anggota keluarga tambahan, hingga berbagai modus manipulasi yang dioperasikan agar memenuhi syarat domisili sebagai prinsip dasar PPDB zonasi. (LN/detik)

Advertisement