Revisi UU No 11/2021: Kejaksaan Diberikan Kewenangan Penuh Kendalikan Perkara, ini Kata Pakar

FOTO: Pakar komunikasi politik universitas Hasanuddin, Dr. Hasrullah, saat tampil sebagai pembicara di Focus Group Discussion soal revisi UU Kejaksaan yang berlangsung di Café Muda Mudi, Makassar, Senin (10/2/2025).
FOTO: Pakar komunikasi politik universitas Hasanuddin, Dr. Hasrullah, saat tampil sebagai pembicara di Focus Group Discussion soal revisi UU Kejaksaan yang berlangsung di Café Muda Mudi, Makassar, Senin (10/2/2025).

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tuai sorotan. Pasalnya korps adhyaksa itu akan diberikan kewenangan penuh dalam mengendalikan perkara.

Hal itu menimbulkan polemik dan pro-kontra, dalam penerapan asas dominis litis dan kemungkinan menjadi konflik kepentingan.

Revisi terhadap undang-undang kejaksaan itu kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, pakar hukum, dan masyarakat.

Di kota Makassar mereka menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Café Muda Mudi, Makassar, Senin (10/2/2025).

Advertisement

Hadir dalam FGD itu, Pakar hukum, Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.HuM. Dia menyoroti bahwa revisi ini menimbulkan pro dan kontra karena banyak pihak memiliki pandangan yang berbeda terkait substansinya.

Ia menilai bahwa penerapan asas dominis litis yang memberikan kewenangan penuh kepada kejaksaan dalam mengendalikan perkara dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam sistem peradilan.

“Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 masih menimbulkan polemik dan pro-kontra, terutama terkait perluasan kewenangan kejaksaan dalam pengendalian perkara. Seharusnya ada keseimbangan dalam penerapan asas ini agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan,” ujar Prof. Ilmar.

Ia juga menyoroti bahwa kejaksaan memiliki wewenang dalam mengawasi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, yang menurutnya bisa berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

“Kewenangan ini bisa menjadi masalah jika tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas terhadap kejaksaan. Siapa yang akan mengawasi jaksa jika kewenangan ini semakin luas?” tambahnya.

Sementara itu, pengamat politik, Dr. Adi Suryadi Culla, menyatakan bahwa revisi UU Kejaksaan ini dikhawatirkan dapat membuka celah bagi kepentingan politik dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Dengan kewenangan yang semakin besar, siapa yang bisa menjamin kejaksaan tetap independen dan profesional? Apalagi ada aturan yang menyebutkan bahwa proses hukum terhadap jaksa harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung. Ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya konflik kepentingan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa posisi Jaksa Agung yang merupakan bagian dari kabinet pemerintahan bisa menimbulkan intervensi politik dalam lembaga tersebut. “Struktur kabinet yang berada di bawah presiden tentu memiliki kepentingan politik tertentu. Dengan kewenangan besar yang diberikan kepada kejaksaan, revisi ini bisa menjadikan lembaga tersebut sebagai super body tanpa pengawasan yang jelas,” tambahnya.

Dalam diskusi ini, mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas), Fajar, juga turut menyampaikan pandangannya. Menurutnya, revisi UU Kejaksaan sebaiknya ditolak karena dapat menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang terlalu kuat dan sulit diawasi oleh masyarakat sipil.

“Hasil dari kajian ini sebenarnya kami harapkan dapat menolak revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021. Karena dengan revisi ini, kejaksaan akan menjadi lembaga super body tanpa pengawalan. Masyarakat sipil akan semakin lemah dalam melakukan kontrol terhadap lembaga ini,” ungkapnya.

Di sisi lain, pakar komunikasi politik, Dr. Hasrullah, menekankan pentingnya koordinasi antara lembaga penegak hukum agar revisi ini tidak menimbulkan konflik kewenangan.

“Masalah utama bukan hanya tentang kewenangan, tetapi bagaimana koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bisa berjalan dengan baik. Jika tidak ada mekanisme koordinasi yang jelas, tumpang tindih kewenangan bisa semakin memperburuk sistem hukum kita,” ujarnya.

Revisi UU Kejaksaan ini terus menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Para akademisi dan praktisi hukum sepakat bahwa revisi ini perlu dikaji ulang dengan lebih mendalam, serta melibatkan partisipasi publik secara luas agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masa mendatang. Di tengah polemik ini, para pakar berharap agar Presiden memberikan arahan yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sebelum revisi ini disahkan. (*)

Advertisement