Refleksi Yuridis: “Paradoks di Perbukitan/Pegunungan Bagian Barat Daya Sulawesi Selatan, yang Kehilangan Bentuknya”

0
FOTO: Iwan Mazkrib, Seniman Hukum/Ketua Bidang Perlindungan HAM Badko HMI Sulsel.
FOTO: Iwan Mazkrib, Seniman Hukum/Ketua Bidang Perlindungan HAM Badko HMI Sulsel.

PENULIS: Iwan Mazkrib
Seniman Hukum/Ketua Bidang Perlindungan HAM Badko HMI Sulsel.

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Pembangunan sering kali diklaim sebagai jalan menuju kesejahteraan, tetapi di perbukitan bagian barat daya Sulawesi Selatan, klaim itu kini menjelma menjadi paradoks hukum dan kemanusiaan.

Di balik megahnya Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Je’nelata, tersimpan realitas getir pada hak-hak rakyat Manuju yang menjadi korban ketidakharmonisan hukum, disorientasi kelembagaan, dan matinya akal sehat pemerintah terhadap penderitaan warga yang menunggu kepastian atas tanahnya sendiri.

Negara Hukum yang Kehilangan Bentuknya, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan sekadar negara pembangunan. Namun di lapangan, hukum sering kali menjadi pelayan bagi kekuasaan, bukan penuntun kebijakan. Kekuasaan administratif bergerak lebih cepat daripada penyelesaian hak atas tanah warga adalah bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang bertentangan dengan prinsip rule of law dan asas pemerintahan yang baik (good governance).

Kehilangan bentuk hukum di sini bukan sekadar absennya peraturan, melainkan disfungsi nilai hukum itu sendiri. Ketika keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tidak lagi seimbang, dan hukum berhenti menjadi penjaga kemanusiaan. Rawan kawan!!!

Belum lagi menyoal disorientasi kelembagaan dan hilangnya Diferensiasi Fungsional. Persoalan di Manuju memperlihatkan kaburnya batas fungsi antara ATR/BPN, BBWS Pompengan Jeneberang, P2T, Kejaksaan, dan Pemerintah Daerah. Alih-alih menjalankan fungsi diferensial secara koordinatif,

Lanjut, lembaga-lembaga ini justru saling melempar tanggung jawab. Dalam teori administrasi publik, kondisi ini disebut “maladministrasi struktural” di mana koordinasi berubah menjadi disorientasi, dan akuntabilitas larut dalam kebingungan prosedural, yang justru membuat warga jatuh pada kecemasan ham dan riuhnya kegaduhan sosial.

Akibatnya, hukum kehilangan arah. Pembangunan berjalan tanpa dasar kejelasan hak, dan masyarakat menjadi korban “ketidakpastian terencana” atau gaulnya planned uncertainty, di mana kepastian hukum berubah menjadi ilusi administratif.

Pelanggaran terhadap Prinsip dan Asas Hukum Secara yuridis, kondisi tersebut melanggar:

• Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil;

• Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, tentang hak milik pribadi yang tidak boleh diambil sewenang-wenang;

• UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, yang mewajibkan ganti rugi layak dan adil sebelum pembangunan dimulai;

• UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 36 dan 37, yang menjamin hak atas kepemilikan dan perlindungan dari perampasan tanpa dasar hukum;

• serta UU No. 11 Tahun 2005 (ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob), yang menjamin hak atas tempat tinggal, rasa aman, dan lingkungan hidup yang layak.

Dengan demikian, pembangunan yang dijalankan tanpa menyelesaikan hak-hak warga bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran HAM struktural yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warganya.

HAM di Manuju kini kehilangan bentuknya yang substantif. Ia tereduksi menjadi jargon dalam dokumen birokrasi, padahal substansinya adalah kehidupan manusia itu sendiri. Hak atas tanah bukan hanya tentang kompensasi ekonomi, tetapi menyangkut identitas, sejarah, ketenangan, dan keberlanjutan hidup.

Wilayah Manuju yang sejak turun-temurun menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat kini kehilangan bentuknya dalam arti yang paling mendasar misal, kehilangan sejarah, nilai kedamaian, ketenangan, kenangan, keseimbangan ekologis, dan sumber kehidupan manusia. Tanah yang dulunya menjadi simbol keteguhan dan harmoni kini berubah menjadi ruang yang dipenuhi kegaduhan dan ketidakpastian.

Dalam filsafat hukum, fenomena ini disebut positivisasi ketidakadilan, hukum digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran terhadap nilai-nilai yang seharusnya ia lindungi. Ketika hukum hanya mengatur tanpa menimbang nilai, maka ia kehilangan bentuknya sebagai ruh keadilan.

Masyarakat Manuju tidak menolak pembangunan. Mereka menolak ketidakadilan yang dilegalkan atas nama pembangunan. Negara wajib menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar prosedural. Pemerintah dan lembaga terkait harus menyelesaikan seluruh sengketa pembebasan lahan secara transparan dan tuntas, serta menjaga komitmen Integritas sikap kenegaraan sebagai wujud tanggung jawab moral dan hukum.

Sebab pembangunan tanpa keadilan hanyalah proyek tanpa jiwa. Dan hukum tanpa nurani hanyalah teks yang kehilangan bentuknya sebagaimana paradoks yang kini hidup di perbukitan barat daya Sulawesi Selatan. Je’nelata!

Advertisement