Oleh: Musmuliadi, Founder Anak Muda Desa
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Beberapa waktu lalu, dalam diskusi ringan di sebuah kafe tak jauh dari Lapangan Merdeka Sengkang. Di tengah aroma kopi yang menenangkan, seorang pemuda berkata, “Kita semua ingin maju, tapi kadang bingung harus mulai dari mana.” Kalimat itu sederhana, namun menancap dalam ingatan. Dua puluh tahun menuju Indonesia Emas 2045, banyak anak muda masih berdiri di persimpangan antara emas dan cemas.
Sumpah Pemuda bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah kesadaran arah generasi muda harus tahu ke mana bangsa ini menuju. Para pemuda 1928 tidak memiliki kekuasaan, tapi mereka memiliki tekad dan arah. Kini, di tengah derasnya perubahan sosial dan ekonomi, semangat itu menuntut bentuk baru, sebuah gerakan yang berakar, kolaboratif, dan kritis terhadap arah kebijakan.
Tema tahun ini, Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu, menemukan relevansinya di Wajo. Pemerintah daerah mencoba menata ruang partisipasi pemuda melalui program “Muda Milenial Maradeka”, yang termaktub dalam misi pasangan Andi Rosman – Baso Rahmanuddin (AR-Rahman) sejak masa pencalonan mereka sebagai Bupati dan Wakil Bupati.
Program ini menjanjikan banyak hal: beasiswa bagi mahasiswa, iklim investasi yang kondusif, inkubator bisnis dan ekosistem pasar digital, Dana Abadi Pengembangan Usaha dan Keterampilan (Skill Development Fund), serta dukungan bagi UMKM dan produk unggulan desa. Gagasannya menarik dan visioner, tetapi justru karena itulah, ia layak dikritisi.
Kebijakan tanpa keberlanjutan hanya akan menjadi arsip rapi di dokumen perencanaan. Banyak pemuda bahkan belum tahu bahwa program ini ada. Inkubator bisnis dan pasar digital masih sebatas jargon yang belum menyentuh realitas pelaku usaha muda di lapangan. Begitu pula beasiswa yang idealnya menjadi jembatan bagi anak muda Wajo untuk naik kelas, kadang terjebak dalam birokrasi dan seleksi yang tidak inklusif.
Pemuda hari ini tidak kekurangan ide. Kita punya banyak gagasan segar, dari pengembangan ekonomi kreatif hingga inovasi sosial berbasis desa. Tapi ide-ide itu sering kehilangan arah karena minim dukungan dan pendampingan. Di sinilah pentingnya kolaborasi, sebab pemuda memiliki imajinasi dan energi, sementara pemerintah memiliki power dan instrumen kebijakan. Bila keduanya tidak bertemu, yang lahir hanyalah kekecewaan baru.
Muda Milenial Maradeka seharusnya tidak berhenti pada janji politik. Ia harus menjadi ruang hidup, tempat di mana pemuda Wajo merasa punya masa depan di tanah kelahirannya. Pemerintah perlu membuka pintu selebar-lebarnya bagi partisipasi anak muda, bukan sekadar menjadikan mereka pelengkap seremonial atau penonton program pembangunan.
Menjadi pemuda hari ini berarti berani berpikir kritis tanpa kehilangan semangat kolaboratif. Bergerak bukan untuk menantang kekuasaan, tetapi memastikan bahwa kekuasaan bekerja bagi kepentingan rakyat, terutama generasi penerus.
Kita boleh bermimpi tentang Indonesia Emas, tetapi sebelum itu kita harus berani mengakui Indonesia Cemas. Realitas ketimpangan, pengangguran, dan keterasingan anak muda dari kebijakan publik. Mengakui kecemasan bukan tanda pesimismeadalah langkah paling jujur untuk membangun harapan yang baru.
Dua puluh tahun menuju 2045 bukan waktu yang lama. Jika ruang dialog seperti obrolan di kafe kala itu mampu menjadi ruang kolaborasi nyata antara pemuda dan pemerintah, maka cahaya Indonesia Emas akan menyala dari Kabupaten Wajo. Bukan dari janji, tetapi dari kerja dan kesadaran bersama. (*)

























