Penulis: Illank Radjab S.H
Ketua Umum Laskar (Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat) Sulawesi Selatan.
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Akhir tahun adalah momen untuk berhenti berbicara tentang niat, dan mulai menguji kerja. Dalam politik perwakilan, evaluasi bukan kemewahan, melainkan kewajiban moral. Di penghujung tahun 2025, Sulawesi Selatan patut mengajukan satu pertanyaan mendasar: apa yang telah diperjuangkan secara nyata oleh 24 Anggota DPR RI Dapil Sulawesi Selatan di tengah kompleksitas persoalan sumber daya dan hak rakyat?
Sulawesi Selatan bukan wilayah kosong. Ia kaya akan sumber daya alam, kuat dalam tradisi adat, dan strategis secara ekonomi nasional. Namun justru di ruang-ruang inilah konflik, ketimpangan, dan ketidakadilan kerap terjadi. Dan di titik inilah mandat perwakilan diuji.
Kasus Tongkonan di Toraja menjadi contoh terang bagaimana simbol dan institusi adat berhadapan dengan logika hukum modern yang sering kali abai pada nilai dan hak masyarakat adat. Tongkonan bukan sekadar bangunan, melainkan pusat kekerabatan, identitas, dan sistem sosial. Ketika ia terancam oleh regulasi atau kepentingan ekonomi, negara seharusnya hadir melalui wakil rakyatnya, bukan sebagai penonton, apalagi pembenar.
Demikian pula gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap simbol adat Ammatoa Kajang. Gugatan semacam ini tidak bisa dibaca semata sebagai perkara perdata, tetapi sebagai alarm serius atas rapuhnya perlindungan negara terhadap masyarakat hukum adat. Ketika simbol adat digugat di pengadilan, yang dipertaruhkan bukan hanya objek hukum, melainkan eksistensi nilai, kosmologi, dan kearifan lokal yang dijamin konstitusi.
Di sektor sumber daya alam, kasus-kasus pertambangan dan mineral di Sulawesi Selatan terus menyisakan konflik lahan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan manfaat. Kekayaan mineral kerap mengalir keluar daerah, sementara masyarakat sekitar tambang menanggung dampak sosial dan ekologis. Di sinilah DPR RI seharusnya berdiri tegas: mengawasi perizinan, mendorong regulasi yang adil, dan memastikan Pasal 33 UUD 1945 tidak sekadar menjadi hiasan normatif.
Sementara itu, sektor perikanan dan pesisir, tulang punggung hidup jutaan warga Sulawesi Selatan, masih dihadapkan pada persoalan klasik: nelayan kecil yang lemah perlindungan, akses yang timpang, serta kebijakan nasional yang belum sepenuhnya berpihak. Laut menjadi ruang eksploitasi, bukan ruang keadilan.
Jika seluruh kasus ini dibaca bersama, maka masalahnya bukan pada ketiadaan isu, melainkan pada ketiadaan agenda kolektif. Sepanjang 2025, sulit melihat sikap bersama 24 Anggota DPR RI Sulsel dalam bentuk inisiatif legislasi, pengawalan anggaran, atau pengawasan terpadu yang menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Padahal, kewenangan mereka jelas: membentuk undang-undang yang melindungi hak adat dan lingkungan, mengawal anggaran negara agar berpihak pada rakyat pesisir dan daerah terdampak tambang, serta mengawasi pemerintah agar tidak tunduk pada kepentingan modal semata.
Yang dibutuhkan bukan kerja individual yang tersebar, melainkan kerja kolektif lintas fraksi dan komisi. Rakyat Sulawesi Selatan tidak memilih 24 orang untuk berjalan sendiri-sendiri, melainkan untuk bersuara bersama membawa kepentingan daerah ke pusat kekuasaan nasional.
Rapor politik akhir 2025 ini menunjukkan bahwa mandat besar itu belum sepenuhnya dijawab. Banyak persoalan nyata, tetapi sedikit keberanian politik. Banyak simbol kehadiran, tetapi minim jejak kebijakan.
Tulisan ini bukan vonis, melainkan peringatan. Bahwa kekuasaan tanpa keberpihakan akan kehilangan legitimasi. Bahwa kepercayaan publik tidak tumbuh dari baliho dan kunjungan, tetapi dari keberanian membela rakyat ketika kepentingan besar datang menekan.
Akhir tahun adalah saat yang tepat untuk bercermin. Sebab sejarah tidak mencatat siapa yang paling sering hadir, tetapi siapa yang memilih berpihak. Dan rakyat Sulawesi Selatan akan selalu mengingat, di mana wakilnya berdiri ketika adat, alam, dan ruang hidup mereka dipertaruhkan.
























