Pemberdayaan Masyarakat

FOTO: Ika Widiastuti, S.IP, M.AP, Ph.D, CBPA, CPRW, C.GL
FOTO: Ika Widiastuti, S.IP, M.AP, Ph.D, CBPA, CPRW, C.GL

Oleh: Ika Widiastuti, S.IP, M.AP, Ph.D, CBPA, CPRW, C.GL, Dosen di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

“Konsep Pemberdayaan Masyarakat”

LEGIONNEWS.COM – Pada hakekatnya pemberdayaan masyarakat lazim digunakan oleh banyak kalangan seperti para pembuat kebijakan dan keputusan, kalangan profesi dan praktisi, pekerja sosial termasuk kelompok profesional berbagai argumentasi praktis maupun ilmiah yang ditampilkan melalui karya dan/atau tulisan tentang pemberdayaan masyarakat tersebut kemudian dijadikan patokan dalam rangka menyiasati seluruh peran dan gerak dalam merumuskan program pemberdayaan kepada masyarakat.

Dalam kaitan ini, menjadi penting bagi pekerja sosial untuk memahami konsep pemberdayaan masyarakat dalam rangka menyelenggarakan tugas praktik pekerjaan sosial di tengah masyarakat. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol.

Advertisement

Beberapa ahli di bawah ini mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara pemberdayaan (Suharto, 1997:210-224) yaitu; pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife,1995). Lebih lanjut dikatakan oleh Parson, et all (1994), pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan memengaruhi terhadap kejadian serta lembaga yang memengaruhi kehidupannya.

Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk memengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Swift dan Levin (1987) mengungkapkan bahwa pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui perubahan struktur sosial.

Konsep pemberdayaan masyarakat, banyak juga dikemukakan oleh Payne (1997:226), yang mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan guna: “To help clients power of decision and action over their own lives by reducing the effect of sosial or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and selfconfidence to use power and by transferring power from the environment too clients” (membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki.

Lebih lanjut dikatakan oleh Shardlow (1998:32), pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok maupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.

Ide yang sama juga disampaikan oleh Biestek (1961), yang dikenal dalam pendidikan ilmu kesejahteraan sosial dengan nama ‘self determination’. Prinsip ini pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk masa depannya.

Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi external (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil).

Sennet, Cabb (1972) dan Conway menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto, 1997). Ketidakberdayaan menurut Seeman (1985), Seligman (1972) dan Learner (1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat.

Strategi Pemberdayaan

Person et.al. (1994:112-113) menyatakan proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan.

Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas.

Dalam konteks pekerjaan sosial pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empoowerment setting): mikro, meso, dan makro.

1. Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan konseling, stress management, krisis intervensi. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (Task Centered Approach).

2. Aras Meso. Pemberdayaan dilakukan pada sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, dan perilaku klien supaya memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

3. Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai strategi sistem besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas.

Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

Dalam konteks kesejahteraan sosial, upaya pemberdayaan digambarkan Hogan di atas tentu juga terkait dengan upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat dari suatu tingkatan ke tingkat yang lebih baik. Tentunya dengan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan suatu komunitas menjadi kurang berdaya (depowerment).

Strategi Dasar dalam melakukan Perubahan

a. Pengembangan Masyarakat Lokal

Dalam pengembangan masyarakat lokal, strategi perubahannya dicirikan dengan ungkapan‘marilah kita bersama-sama membahas masalah ini’.Dari ungkapan tersebut terlihat adanya upaya mengembangkan keterlibatan warga sebanyak mungkin dalam upaya menentukan kebutuhan yang mereka rasakan (felt need) dan memecahkan masalah mereka.

b. Perencanaan Sosial

Strategi dasar dari model ini perencana biasanya berusaha untuk menganalisa fakta yang dihadapi sebelum memilih tindakan rasional dan tepat dilakukan (rational and feasible). Partisipasi dalam perencanaan sosial tidak “sekental” pada pengembangan masyarakat. Perencanaan dalam penganalisaan data (fakta) bisa saja menggunakan tenaga dalam upaya mengembangkan program dan kegiatan yang dilakukan. Meskipun demikian, mereka tetap mendasari tugasnya berdasarkan fakta dari masyarakat tersebut.

c. Aksi Sosial

Strategi dari perubahan ini terlihat dari ungkapan ”mari kita mengorganisasi diri supaya dapat melawan penekan kita”. Ungkapan tersebut merupakan kristalisasi isu-isu yang dihadapi masyarakat, yang kemudian membuat masyarakat mengenali “musuhnya” dan mengorganisasi diri mereka dan membentuk aksi massa untuk memberikan tekanan terhadap kelompok sasaran mereka. (Adi, 2008:128).

Sesungguhnya, dalam melakukan perubahan untuk memberdayakan suatu masyarakat ke arah memperbaiki dan meningkatkan kondisi kesejahteraan tersebut menjadi penting untuk dilakukan sebuah perencanaan secara komprehensif.

Dikatakan demikian karena perencanaan sebagai suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu akan datang dan yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Perencanaan mempunyai unsur-unsur: (a) berhubungan dengan masa depan; (b) mendesain seperangkat kegiatan secara sistematis; dan (c) dirancang untuk mencapai keinginan dimasa depan berdasarkan kondisi masa lalu, saat ini dan akan datang. Bahwa, perencanaan ini akan menghasilkan rencana-rencana sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (Ikhwanuddin, 2009:11).

Pekerjaan Sosial: Model Praktik Profesional

Model praktik Pekerjaan Sosial ini muncul dari adanya proses unifikasi karena terbentuknya Council on Social Work Education pada tahun 1952. Sejak saat itu, profesi pekerjaan sosial mulai berusaha merumuskan konsepsi mengenai metodologi pertolongan yang digunakannya. Persoalan ini yang selain mencakup aplikasi profesi ke dalam praktik pekerjaan sosial secara menyeluruh juga merupakan tingkatan konseptualisasi dan operasi profesi sebagai reaksi terhadap pekerjaan sosial tradisional yang terlalu mengarah pada spesialisasi.

Dalam model praktik pekerjaan sosial tersebut tercermin tujuan-tujuan, nilai-nilai, pengetahuan, serta tindakan-tindakan interventif yang teridentifikasi dalam profesi pekerjaan sosial. Dalam model ini tercermin cara-cara yang sama dalam memandang orang dan situasinya, yang selalu terkait dengan kesadaran diri, dan disiplin profesional individu sebagai praktisi.

Praktik pekerjaan sosial dapat didefinisikan sebagai “konstelasi nilai, tujuan, sanksi, pengetahuan, dan metoda”, yang dikembangkan dari seperangkat tujuan-tujuan profesional, sebagai yang diyakini dan diakui oleh masyarakat umum. Praktik pekerjaan sosial setidaknya memiliki dua tingkatan sebagai berikut:

* Tindakan atau kegiatan interventif yang diarahkan pada tujuan dan dibimbing atau disadari oleh nilai, pengetahuan, dan teknik yang secara kolektif unik, dan diakui, diterima, serta dikembangkan oleh profesi pekerjaan sosial.
* Merupakan penerapan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku yang ditujukan untuk mengadakan perubahan terencana pada individu, kelompok serta sistem sosial.

Dengan demikian, pekerjaan sosial adalah praktik profesional dalam pengertian bahwa tindakan serta pelayanan yang diberikannya dilaksanakan oleh anggota yang berpendidikan khusus dan secara formal diakui dan diterima oleh dan di dalam profesi pekerjaan sosial. Sebagai profesional, selain para pekerja mengetahui hakekat tindakan dan dapat menjelaskan dan mengkomunikasikannya, juga perlu didasari oleh prinsip-prinsip tertentu, standar kerja yang kompeten dan dengan kode etik profesi.

Dalam kaitan pemberdayaan masyarakat, pekerja sosial memiliki tugas yang menurut Schwartz (1961:157-158), terdapat 5 (lima) tugas yang dapat dilaksanakan oleh pekerja sosial yaitu:

1. Mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka.

2. Mendeteksi dan menghadapi kesulitan yang menghambat dan membuat frustasi usaha untuk mengidentifikasi kepentingan mereka dan kepentingan yang berpengaruh (significant others) terhadap mereka.

3. Memberi kontribusi mengenai ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki masyarakat, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas sosial dan masalah yang dihadapi mereka.

4. Membagi visi kepada masyarakat; harapan dan aspirasi pekerja sosial merupakan investasi bagi interaksi antara orang dan masyarakat dan bagi kesejahteraan individu dan sosial.

5. Mendefinisikan Batasan situasi dengan mana sistem relasi antara pekerja sosial dan masyarakat dibentuk.

Aturan tersebut membentuk konteks yang mengikat masyarakat dan lembaga. Batasan tersebut juga mampu menciptakan kondisi yang dapat membuat masyarakat dan pekerja sosial menjalankan fungsinya masing-masing.

Profesi pekerja sosial sebagai pemberi bantuan secara profesional dalam rangka memecahkan permasalahan sosial yang dapat meningkatkan ketidakberdayaan masyarakat menjadi berdaya secara mandiri atau dengan kata lain mengalami ketidakberfungsian sosial menjadi keberfungsian sosial.

Advertisement