LEGIONNEWS.COM – Tiga partai pemenang pemilihan umum (Pemilu) Partai Nasdem, Demokrat dan Golkar angkat bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah.
Bermula Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada ke MK.D
Dalam mengajukan pengujian itu, Perludem meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan Pemilu tingkat daerah.
Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024. Perludem mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Partai Demokrat
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Herman Khaeron misalnya, Dia menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilihan legislatif nasional dalam hal ini DPR hingga DPD dengan pileg daerah atau DPRD.
Herman berbicara adanya potensi masa jabatan DPRD bertambah 2 tahun. “Saya paham bahwa keputusan MK final and binding sehingga strategi dan manajemen partai ke depan harus dipersiapkan sesuai keputusan tersebut,” kata Herman Khaeron kepada wartawan, Senin (30/6).
Ia menyoroti putusan itu berpeluang memperpanjang masa jabatan DPRD selama 2 tahun. Menurutnya, hal ini bisa berdampak ke masa kepengurusan partai yang biasanya berganti setiap 5 tahun.
“Namun memang masih menjadi bahan diskusi, khususnya terkait dengan perpanjangan masa jabatan DPRD selama 2 tahun. Kami juga harus menyesuaikan masa periodisasi kepengurusan partai yang disesuaikan dengan adanya 2 kali pemilu, pemilu pusat dan pemilu daerah,” kata dia.
Herman Khaeron menyebut pemilu yang diselenggarakan dua kali juga perlu mempertimbangkan pembiayaan. Ia menyebut Demokrat tengah mengkaji dampak dari putusan MK termasuk usulan di revisi UU Pemilu yang akan dibahas oleh DPR RI.
“Dengan 2 kali pemilu juga partai harus mempersiapkan berbagai konsekuensi pembiayaan, sosialisasi caleg karena tidak ada lagi tandem dan bisa jadi ada keputusan-keputusan baru lainnya terkait dengan revisi undang-undang pemilu,” ujar Herman.
“Bisa jadi semakin kompleks masalahnya atau mungkin lebih simpel tentu belum bisa disimpulkan karena kami akan mendiskusikan dan mendalami keputusan MK terkait hal ini. Bisa (kepengurusan tak harus 5 tahun), tapi sedang kami kaji,” tambahnya.
Partai Golkar
Waketum Golkar Adies Kadir menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan daerah. Adies menyinggung putusan ini sangat terbuka untuk diperdebatkan.
“Mungkin dari sisi MK, beliau sudah merasa, mereka di sana merasa putusannya sudah benar, sudah sesuai dengan konstitusi dan lain-lain sebagainya. Tapi kan ada juga pihak-pihak menyatakan itu di luar kewenangannya, atau di luar konstitusi dan lain-lain,” kata Adies di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7).
“Karena putusan MK itu, pendapat rata rata orang ya final dan mengikat. Ini di mana final mengikatnya? Karena selalu berubah-berubah,” sambungnya.
Adies lantas menyinggung putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengenai beberapa model dalam penyelenggaraan pemilu. Saat itu, MK dalam pertimbangannya memberikan beberapa model pemilu yang dapat dilaksanakan.
Adies mengatakan dua dari enam model tersebut kemudian telah digunakan dalam pemilu beberapa tahun terakhir. Namun, kata dia, saat ini MK kembali mengubah putusannya melalui nomor 135/PUU-XXII/2024.
“Apakah berubah kalau ketua MK-nya atau hakimnya ganti, putusannya berubah lagi? Atau rezimnya ganti, pemerintahnya, ada putusan lagi?” ujarnya.
Dia mengatakan usai rapat bersama pemerintah pada Senin (30/6), disebutkan terdapat kurang lebih empat putusan MK yang terus berubah-ubah. Dia pun mempertanyakan makna dari putusan MK yang bersifat final and binding.
“Jadi final and bindingnya di mana? Padahal di dalam undang-undang MK itu kan belum ada aturan menyatakan final and binding mengikuti perkembangan situasional terkini. Kan tidak ada undang-undang itu,” ujarnya.
Adies mengatakan jika putusan MK yang terbaru masih mengalami perdebatan. Meski begitu, dia mengatakan baik DPR maupun pemerintah tak dapat menyalahkan keputusan MK.
“Ya tentunya kami berdiskusi untuk mencari cara-cara yang elegan. Agar supaya sistem tatanan pemilu kita, sistem bertata negara di negara kita itu bisa berjalan dengan baik. Dan intinya cuma satu, agar supaya bangsa ini besar dan juga masyarakatnya sejahtera,” tuturnya.
Partai Nasdem
Anggota Majelis Tinggi DPP Partai NasDem, Lestari Moerdijat, mengungkap jika putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini dijalankan, maka MK dinilai melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Pernyataan sikap DPP Partai NasDem itu disampaikan oleh Anggota Majelis Tinggi DPP Partai NasDem, Lestari Moerdijat, dalam konferensi pers di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025) kemarin.
“Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata Lestari dalam konferensi pers itu, Senin (30/6/2025).
Lestari mengatakan pemisahan pemilihan presiden, DPR RI, DPD RI dengan pemilihan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar UUD 1945. Menurutnya, putusan MK ini tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional.
“Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022. Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” jelasnya.
Dia menjelaskan perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak. Menurutnya, MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak suara yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
“Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” ucapnya.
Berikut pernyataan sikap Partai NasDem terkait putusan MK:
Sehubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/ 2024 menyangkut pemisahan skema pemilihan umum, Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem menyampaikan bahwa terdapat problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara.
1. Kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C Ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
2. Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi. Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD layat (2)]. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
3. MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
4. MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.
5. Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
6. MK dalam kapasitas sebagai guardian of constitution tidak diberikan kewenangan untuk merubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22B UUD NRI 1945
7. Bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis padahal jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana pasal 22E UUD NRI 1945. Artinya berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional
8. Perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK yang mengambil posisi positive legislator ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak, yang pertimbangannya bukan didasarkan tafsir konstitusional yang berdasarkan risalah pembahasan terkait pelaksanaan pemilu dengan 5 kotak, termasuk kotak DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun dalam putusan MK, kali ini MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi dimana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tanpa ada perintah sistem pemilu seperti apa yang harus dijalankan, sehingga pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi open legal policy sesuai yang dimaksudkan oleh konstitusi itu sendiri.
9. MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
10. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya. (*)

























