MAKASSAR – Tanggal 28 Desember 2025 akan datang, Kontrak Karya (KK) perusahaan tambang nikel asal Kanada, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), akan berakhir.
Untuk diketahui, sudah 55 tahun lamanya PT Vale menambang nikel di Indonesia, tepatnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Ironisnya, mayoritas sahamnya masih dikuasai asing, yakni yakni Vale Canada Limited (VCL) 44,3%, Sumitomo Metal Mining Cp. Ltd (SMM) 15%.
Sementara saham murni Indonesia “hanya” 20% yakni dimiliki Holding BUMN Tambang MIND ID, sementara 20,7% merupakan saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pakar Sosiolog Doktor Sawedi Muhammad mengemukakan bahwa sejak dulu harusnya PT. Vale di evaluasi.
Sebab, kata dia, sudah setengah abad lebih menguasai kandungan nikel tanah air indonesia, dan terlilit dengan berbagai masalah lingkungan serta tidak ada transfer pengetahuan dan teknologi pertambangan terhadap sumber daya manusia lokal.
Hingga saat ini masyarakat sekitar pertambangan juga masih hidup dalam taraf kehidupan yang masih kurang layak termasuk infrastruktur dan kebutuhan hidup masyarakat.
“Belum lagi konflik lahan, maksimalisasi program CSR, pencemaran lingkungan, pemberdayaan kontraktor lokal, dan perekrutan tenaga kerja.” bebernya, Selasa, (21/02).
“Bahkan berdasarkan data BPS, Kabupaten Luwu Timur masuk 5 besar daerah miskin di Sulsel.” jelasnya.
Sementara itu, pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi mengungkapkan bahwa PT Vale harus mendivestasikan sahamnya sebelum diberikan perpanjangan izin sebagai mana amanat UUD Tahun 1945 dan UU No.3 tahun 2020.
Kalau tidak, lanjut dia, maka tentu Indonesia harus mengambil sikap karena akan berdampak secara hukum terhadap terbitnya IUPK.
“Atas kekayaan tanah air Indonesia, maka pemerintah harus menjadi menjadi pengendali, bukan lagi pihak asing.” ucapnya.
Selain itu, manfaat bagi Indonesia adalah akan menjadi sumber deviden utama negara.
Tak hanya itu, PT. Vale juga tidak menepati janjinya terkait pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
“Sudah sekitar satu dekade lamanya Vale berkutat dengan rencana pembangunan smelter nikel baru dengan perkiraan nilai investasi sekitar Rp 140 Triliun.” beber Ahmad.
Namun hingga kini belum satu pun dari tiga proyek tersebut beroperasi. Tiga proyek tersebut di antaranya proyek Sorowako senilai US$ 2 miliar, proyek Bahodopi senilai US$ 2,5 miliar, dan proyek Pomalaa senilai US$ 4,5 miliar.
Pasang surut polemik perpanjangan Izin PT. Vale juga mendapat tanggapan publik, bahkan dalam diskusi publik yang digelar di jalan andi djemma yang lalu disarankan agar Aparat Penegak Hukum (APK) turun memeriksa dugaan kerugian negara dalam pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona di kabupaten Luwu Timur.
“Diduga kuat, ada permainan didalam perjanjian antara pemerintah dan PT Vale (Inco saat itu), dimana salah satu isinya adalah menyerahkan pengelolaan PLTA pada negara setelah 20 tahun tegas Asmin Syarif salah satu nara sumber dialog tersebut.” tandasnya.
Di sisi lain, Pengamat pertambangan Jemmy Abdullah dalam dialog tersebut juga mengatakan, bahwa banyak ketimpangan yang terjadi di wilayah sekitar lahan konsesi PT Vale.
Bahkan masih banyak warga yang belum menikmati listrik meski ketiga PLTA yang di kelola Vale mampu menghasilkan listrik sebesar 365 MW.
“Perlu ada audit secara komprehensif karena berdasarkan fakta lapangan banyak ditemukan bukti yang menguatkan adanya dugaan permainan.” tuturnya.
Oleh karena itu apa yang di dorong Gubernur Sulsel dengan mengusulkan penolakan perpanjangan kontrak karya vale adalah tindakan sangat tepat dilakukan oleh seorang pemimpin daerah. (*)