OPINI: Vaksin, Masyarakat yang Insecure, dan Sosok Mantan

Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si
Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si, (Alumni Prodi Manajemen Kepemimpinan Pemuda Sekolah Pascasarjana Unhas/ Ketua FPBTI Sulsel)

Vaksin, Masyarakat yang Insecure, dan Sosok Mantan

Oleh: Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si, (Alumni Prodi Manajemen Kepemimpinan Pemuda Sekolah Pascasarjana Unhas/ Ketua FPBTI Sulsel)

Pandemi Covid-19 sudah berumur setahun lebih di Indonesia. Penerapan protokol kesehatan di berbagai sektor telah diupayakan Pemerintah, tentu dengan harapan agar mampu menekan angka penyebaran virus tersebut. Namun upaya ini belum mampu menghasilkan hasil maksimal. Hingga pada awal tahun 2021, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan ke publik bahwa telah memesan 329,5 juta dosis vaksin. Sebuah upaya agar Covid ini tidak lagi mengganggu segala lini kehidupan, utamanya kesehatan dan ekonomi.

Sejak awal virus ini datang “menghantui” rakyat Indonesia, cemas dan khawatir itu semakin menjadi-jadi. Di layar kaca dan media sosial mengabarkan jumlah korban yang meninggal akibat virus ini terus meningkat. Rakyat mendesak negara untuk segera menghadirkan obat dan vaksin untuk melumpuhkan virus tersebut dalam tubuh. Kehadiran vaksin memang dianggap sebagai solusi jitu mengatasi covid ini, mengutip pernyataan seorang ahli kesehatan, Hasbullah Thabran (2020) menyebut bahwa Vaksin Covid-19 ini manfaatnya adalah sebagai pelatih untuk tubuh kita agar bisa mengenali virus yang membahayakan tersebut, kalau virus itu sudah masuk ke tubuh baru vaksin ini bisa membunuh, sehingga vaksin Covid-19 bekerja untuk dapat mematikan virus yang masuk ke dalam tubuh.

Advertisement

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya vaksin tersebut dipesan oleh negara. Namun, tidak disambut gegap gempita oleh mayoritas masyarakat, justru membuat mereka semakin insecure. Dalam sebuah jurnal, Muawwanah (2017) mendefenisikan insecure sebagai rasa tidak aman atau bisa diartikan

sebagai rasa takut akan sesuatu dan tidak percaya diri.  Vaksin yang telah lama dinantikan, tidak membuat masyarakat menjadi lega, bahkan secara terang-terangan di media sosial masyarakat menolak untuk disuntik vaksin.

Tentu penolakan tersebut bukan tanpa dasar. Meskipun BPOM dan MUI telah berani menggaransi aman dan halalnya vaksin tersebut, bahkan Presiden Joko Widodo serta beberapa pejabat negara lainnya telah mengawali dirinya untuk divaksin pada tanggal 14 Januari 2021 tidak membuat masyarakat untuk semakin yakin untuk divaksin. Pemberitaan di media sosial dan elektronik yang menayangkan dampak “buruk” orang yang telah disuntik vaksin dan tetap terkonfirmasi positif covid-19 pasca divaksin menjadi doktrinisasi yang kuat di kepala masyarakat.  Berdasarkan data, hasil survei yang dilakukan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Desember 2020 merilis masyarakat merasa ragu untuk vaksinasi Covid-19 sebesar 36,25% responden ataupun menolaknya sebesar 9,39%. Survey Populi Center juga menuliskan 46,5 persen masyarakat yang tidak bersedia untuk divaksin. Aspek kesehatan atau keamanan vaksin tersebut yang menjadi alasan utama masyarakat. 66,13% masyarakat yang menolak dengan alasan tersebut.

Hal ini juga tidak lepas dari informasi dan pemberitaan yang sempat viral di media sosial dengan judul “Pekerja kesehatan dan sukarelawan Fabiana Souza menerima vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh perusahaan China Sinovac Biotech di Rumah Sakit Sao Lucas, di Porto Alegre, Brasil selatan,meninggal dunia hadir di berbagai lini masa. Artikel kontan.co.id yang berjudul “Pasca disuntik vaksin corona, 3 orang meninggal di Swiss dan Israel” pada 31 Desember 2020 juga semakin menambal insecure masyarakat.  Belum lagi berita salah satu kepala daerah di Jawa yang positif covid-19 meskipun sudah divaksin semakin menguatkan rasa penolakan masyarakat awam. Sampai hal yang paling buruk juga adalah berkembang wacana di masyarakat, “jangan sampai beda yang disuntikkan oleh Presiden dengan yang disuntikkan ke kita”, atau “Mungkin cuma vitamin biasa saja yang disuntikkan ke Presiden dan beberapa pejabat.” Wacana ini menggelinding bak bola salju, semakin memperteguh masyarakat untuk tegas untuk tidak disuntik vaksin.

Kita yang berpendidikan atau mampu bernalar dengan baik, bisa saja menganggap informasi itu adalah hoax atau belum seutuhnya benar, akan tetapi diyakini sebagai suatu kebenaran oleh masyakat kelas menengah ke bawah dan bertempat tinggal di pedesaan. Gadget atau android yang bukan lagi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat, mampu mendistribusikan informasi dengan cepat ke tangan mereka. Celakanya, informasi buruk atau hoax  justru yang lebih massif dan cepat tersebar.  Survey Mastel (2017) mengungkapkan bahwa dari 1.146 responden, 44,3% diantaranya menerima berita hoax setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Bahkan media arus utama yang diandalkan sebagai interaksi komunikasi Hoax di media sosial serta antisipasinya sebagai media yang dapat dipercaya terkadang ikut terkontaminasi penyebaran hoax. Mastel juga menyebutkan bahwa saluran yang banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah situs web sebesar 34,90%, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebesar 62,80%, dan melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram) yang merupakan media terbanyak digunakan yaitu mencapai 92,40%. Sementara itu, data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoax dan ujaran kebencian.

Meskipun pemerintah pusat hingga daerah dan beberapa organisasi masyarakat gencar mewacanakan vaksinasi aman dan halal, masih saja tidak menggeser rasa insecure mayoritas masyarakat. Distribusi informasi media sosial sangat “keras” membentuk pikiran masyarakat.

Sebenarnya, kita patut berbangga dan mengapresiasi di era reformasi ini, publik diberikan kemerdekaan untuk mengakses informasi dari media sebebas-bebasnya dan terbuka, namun di lain sisi makna “bebas” ini justru dapat “mencelakakan” pikiran masyarakat sendiri.  Kita bisa membayangkan jika vaksin ini tumbuh di era orde baru, mungkin masyarakat akan hanya menerima informasi positif dari vaksinasi di TVRI atau RRI. Jika kita menoleh ke belakang, Indonesia sudah melakukan program imunisasi untuk penyakit cacar sejak 1950-an. Manajemennya mungkin masih jauh dari kata baik, namun masyarakat dapat berterima dengan baik tanpa harus insecure dengan dampak dari vaksin cacar tersebut. Alhasil, pada 25 April 1974, WHO menyatakan Indonesia bebas cacar sepenuhnya. Bisa saja sang mantan Presiden saat itu, mungkin akan “keras” melarang jika ada pemberitaan negative tentang vaksinasi tersebut. Namun,lagi-lagi hal ini tentu tidak akan menyehatkan demokrasi.

Negara hari ini memang berada dalam posisi buah simalakama di mata masyarakat. Seperti sosok mantan kekasih, telah diperjuangkan dan diberikan apa yang diinginkan karena rasa sayang tinggi kepadanya, namun pada akhirnya tetap diacuhkan dan tidak dipercaya.

Advertisement