Luka “Pilkada” Belum Usai
Oleh: Muh. Syaiful (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unhas)
Pilkada telah berlalu tapi luka dan permasalahan juga belum berlalu. Ada yang senang menikmati hasil dari perjuangan dan ada pula yang meratapi kekalahan. Tapi itulah seni dari berkompetisi ada menang dan ada pula yang kalah. Tetapi ada hal yang lebih penting dari menang dan kalah yaitu seberapa dewasa kita dalam berdemokrasi.
Kehadiran Pers sebagai pilar ke-4 Demokrasi sangat mempengaruhi jalanya Pilkada. Apalagi di era saat ini, hadirnya internet atau media sosial sebagai media baru dalam menyampaikan gagasan, pendapat, serta kampanye khususnya dalam mempengaruhi khalayak publik di dunia maya. Apalagi di situasi pendemi saat ini aktivitas di dunia maya meningkat secara drastis.
Laporan terbaru We Are Social tahun 2020 menyebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Angka ini mengalami kenaikan sangat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Ada kenaikan 17% atau 25 juta pengguna internet di Indonesia. Berdasarkan total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka itu artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya.
Salah satu platfrom media sosial yang sering di gunakan adalah facebook dengan tingkat penetrasi mencapai 130 juta jiwa.
Pemanfaatan media sosial secara kreatif merupakan alat partisipasi politik yang baru dengan harapan adanya peningkatan kualitas Demokrasi. Media sosial sebagai kekuatan baru bagi masyarakat sipil dalam penyeimbang informasi.
Rasa pesimistis pun timbul akibat ativitas politik di media sosial. Cara-cara yang dilakukan dengan menggaburkan fakta yang ada serta membenarkan yang salah.
Tak jarang isu isu yang di angkat bersifat kontroversial, hoaks, dan lain sebagainya demi menguntungkan salah satu pihak. Senada dengan itu Stanley J. Baran mengatakan inilah kekuatan media terkadang sering terjadi konflik tuntutan antaran keuntungan dan layanan yang di jalankan.
Ada 47 hoaks dari jumlah artikel dalam rentang waktu 27 April 2020 sampai dengan 2 Desember 2020 berdasarkan data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Selain itu, hoaks didominasi oleh konten palsu atau sesuatu yang diada-adakan sebanyak 34 persen, konten yang dimanipulasi 23.4 persen, konten yang menyesatkan 21.3 persen, konten yang salah 17 persen, konten tiruan 2.1 persen, serta konten satire 2.1 persen.
Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di Pilkada Makassar 2020 persoalan hoaks, kasus pencemaran nama baik hingga pelanggaran netralitas ASN.
Ada beberapa kasus yang viral di media sosial di antara nya perseteruan antara Polmark dan tim Appi-Rahman terkait survei, hasil survei hoaks yang mengatasnamakan KPU Makassar serta beredarnya rekaman suara Sekertaris Camat atau oknum Lurah dalam mempengaruhi pemilih. Maraknya dugaan pelanggaran netralitas ASN menjadi catatan tersendiri dalam Pilkada Makassar 2020.
Banyak luka yang di tinggalkan setelah Pilkada, hoaks, fanatisme buta yang mengakibatkan permusuhan hingga berujung di balik jeruji besi. Luka-luka seperti ini harus nya di jadikan sebagai pembelajaran, lebih dewasa dalam berdemokrasi agar tidak tercipta luka yang sama di kemudian hari. (**)