Hikmah Idul Adha. Berguru Kepada Nabi Ibrahim dan Keluarganya
Penulis: Muhammad yamin S.Pd
(Ketua Karang Taruna Omesuri dan Guru di Madrasah Aliah Negri 1 Lembata)
Berbaik sangka kepada Allah Ta’ala Hajar bersama bayi ismail ketika ditinggal pergi oleh Nabi Ibrahim as di tempat yg tdk ada penghidupan adalah karena perintah Allah,Hajar tdk pernah menolak kepergian Ibrahim, namun beliau berprasangka baik bahwa tindakan Ibrahim itu karena perintah Allah.
Hajarpun berkeyakinan bahwa Allah tdk mungkin menelantarkannya bersama bayi mungil Ismail as,hikmah yg dapat dipetik adalah “banyaknya manusia yang frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia sengsara, ternyata bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Akan tetapi karena sedikitnya husnudzon (berbaik sangka) kepada kebaikan Allah. Padahal nikmat yang Allah berikan jauh lebih banyak dari siksa-Nya.
Oleh karena itu kita harus berbaik sangka kepada Allah,manusia wajib berbaik sangka kepada Allah apa pun keadaannya. Karena Allah akan menyikapi hamba-Nya sesuai prasangka tersebut, jika hamba itu berprasangka baik maka Allah akan memberikan keputusan yang baik untuknya. Namun bila hamba itu berburuk sangka, maka berarti ia telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya.
Seorang hamba yang bijak adalah yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia tidak besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut.
Sebaliknya bila ia didera dengan penderitaan atau kekurangan, maka ia merasa bahwa Allah sedang mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya.
Kita harus belajar dari Hajar. Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang. Tetapi dia yakin jika ini adalah perintah Allah, maka Allah tidak akan menterlantarkannya. Allah pasti akan membantunya.
Sebuah pelajaran penting dari kejadian ibrahim, hajar dan ismail Yaitu kesungguhan Hajar dalam mencari air. Ia kerahkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan Marwa. Dia terus berusaha. Walaupun akhirnya air itu ternyata ada di dekat anaknya sendiri. Ini memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam menjemput rezeki, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki. Karena sejatinya kita diperintahkan bukan cuma melihat hasil, tapi juga memaksimalkan usaha dan tenaga.
Kita dituntut untuk berusaha dan bekerja secara maksimal, bukan berarti bahwa kita diperbolehkan untuk berbuat sebebas-bebasnya. Sehingga tidak lagi memperhatikan batasan halal dan haram. Berhati-hatilah terhadap barang haram yang masuk ke tubuh kita. Karena tubuh yang tumbuh dari harta yang haram, tidak ada tempat kembali untuknya melainkan neraka.
Makanan haram bukan hanya daging babi, namun daging sapi pun bisa berubah menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil korupsi. Minuman haram tidak hanya whisky, namun wedang kopi pun bisa menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil kolusi.
Renungkanlah bentuk ujian yang telah Allah berikan kepada beliau. Bagaimana kira-kira perasaan Ibrahim ‘alaihissalam pada saat itu? Pergulatan seperti apa yang berkecamuk di dalam batinnya? ketika ia bermimpi diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya Ismail as, kepasrahan dan pengorbanan Ismail beserta ayahnya Ibrahim.Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang-Nya walaupun dengan mengorbankan anak tersayang.
Saaat ini kita sedang diajari oleh seorang anak dan ayahnya, tentang makna pengorbanan kepada Allah dalam segala hal kehidupan sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,
Artinya: “Dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah“
Akan tetapi, pengertian kurban bukan sekadar menyembelih binatang kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara umum, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.
Dalam konteks sejarah, di mana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan pengorbanan.
Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam saat itu. Mereka disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy, selain itu umat Islam di Mekah juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, betapa lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam saat itu,hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.
Nabi Ismail ‘alaihissalam tidak akan menjadi anak yang penyabar, jika tidak mendapat taufik dari Allah ta’ala kemudian pendidikan dari ibunya. Dan Hajar tidak akan menjadi seorang yang penyabar bila tidak diberi petunjuk oleh Allah lalu dididik oleh nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Sedang nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak akan dapat sabar jika tidak ditempa oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui wahyu-Nya.
Memang untuk mendapatkan generasi ideal, memerlukan perhatian dan pengorbanan yang sangat besar. Bahkan harus diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan yang tinggi. Makanya sangat aneh, jika kita merindukan lahirnya generasi pejuang, sementara perhatian dan pengorbanan yang diberikan,untuk itumasih sangat kurang,generasi kita perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para orang tua, guru dan pemerintah.
kita khawatir jika perhatian kita masih kurang optimal maka Jangan sampai hanya aspek intelektualnya yang diperhatikan, tetapi mental dan spritualnya memprihatinkan.
Jangan kita bangga dengan pendidikan yang hanya memacu kecerdasan otak, tapi semakin hari akhlaknya semakin rusak dan perilakunya semakin jauh dari agama.
jangan kita bangga dengan anak anak kita yg masuk dlm deretan perengkingan di kelas kelas sekolah, tapi kita harus malu jika anak anak kita tdk masuk dalam deretan saf-saf shalat.
Kita sangat mendambakan generasi yang bertauhid dan berkarakter. Kita mengharapkan generasi yang selalu siap pakai. Siap menghadapi benturan dan tantangan hidup. Memiliki etos kerja yang tinggi, bekerja dengan penuh dedikasi, memiliki banyak inisiatif serta siap berkorban. Sebagaimana contoh yang telah diperagakan oleh sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga keluarganya, Hajar dan Ismail ‘alaihissalam. (**)