Opini: Ansor Butuh Pemimpin, Bukan Sekedar Ketua

FOTO: Makmur Idrus Kader Ansor, Aktivis Sosial dan Kebangsaan
FOTO: Makmur Idrus Kader Ansor, Aktivis Sosial dan Kebangsaan.

Oleh: Makmur Idrus
Kader Ansor, Aktivis Sosial dan Kebangsaan

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Dalam setiap masa, Gerakan Pemuda Ansor selalu hadir sebagai benteng keumatan dan kebangsaan. Dari lorong-lorong pesantren hingga jalanan kota, dari forum ilmiah hingga medan advokasi, Ansor telah mewarisi keberanian, keikhlasan, dan kepeloporan. Ia bukan organisasi biasa. Ia adalah tempat berkumpulnya anak-anak muda Nahdliyin yang tidak hanya berani, tapi juga punya tanggung jawab sejarah.

Namun hari ini, saya menulis dengan kegelisahan yang mendalam. Di tengah dunia yang berubah cepat, di tengah rakyat yang semakin terhimpit oleh ketimpangan dan ketidakadilan, Ansor justru mulai kehilangan arah. Kita ramai memilih ketua, tapi sunyi dari kepemimpinan sejati. Kita sibuk mengurus struktur, tapi melupakan substansi. Kita hadir dalam banyak forum, tapi tak terasa di tengah umat.

Izinkan saya bicara dari hati ke hati. Menjadi ketua Ansor hari ini bukan sekadar soal kemampuan administratif, bukan pula tentang koneksi politik atau ketenaran di media sosial. Menjadi pemimpin di tubuh Ansor adalah amanah sejarah. Ini tugas besar. Ini tanggung jawab kepada para muassis, kepada NU, kepada rakyat, dan kepada generasi yang akan datang. Tapi mengapa banyak yang justru memandangnya sebagai tiket naik kelas sosial? Jabatan jadi panggung, bukan pengabdian.

Advertisement

Ansor tidak butuh ketua yang hanya hadir saat pelantikan dan tampil di baliho-baliho besar. Ansor butuh pemimpin yang hadir saat kader sedang lemah, saat umat menjerit, dan saat organisasi diuji. Pemimpin yang tidak hanya memerintah, tapi memikul. Yang tidak hanya bicara, tapi memberi teladan. Yang tak takut berbeda pendapat dengan kekuasaan, selama yang dibela adalah kebenaran.

Saya rindu masa-masa tahun 70 an ketika ketua cabang Ansor dikenal karena keberaniannya membela rakyat, bukan karena dekat dengan elite. Saya rindu saat kader-kader Ansor bangga menyebut nama pimpinannya karena sikap dan integritasnya, bukan karena posisi dan aksesnya. Rindu saat struktur organisasi jadi tempat pengkaderan, bukan tempat transaksi.

Kita harus sadar bahwa organisasi sebesar Ansor tidak boleh dijalankan oleh semangat kecil. Kita adalah anak ideologis dari NU, cucu dari para ulama pejuang, dan bagian dari sejarah peradaban bangsa. Kita tidak boleh hanya mengejar eksistensi, tapi harus memikul tanggung jawab. Kita tidak cukup hanya hadir dalam seremoni, tapi harus hadir dalam pertempuran nilai. Karena perjuangan belum selesai. Rakyat masih butuh kita. Umat masih menanti keberanian kita.

Kepada seluruh sahabat kader Ansor di Makassar, Sulawesi Selatan, dan di mana pun berada, saya ingin mengajak: mari bangkit. Mari kita kembali menyalakan semangat keikhlasan dan keberanian. Mari kita lahirkan kembali pemimpin-pemimpin sejati dari rahim pengkaderan kita, bukan dari dapur-dapur kekuasaan. Mari kita jaga marwah organisasi ini dari godaan pragmatisme yang bisa membunuh masa depan kita.

Karena sekali lagi, Ansor butuh pemimpin—bukan sekadar ketua.
Pemimpin yang memimpin dengan hati, bukan ambisi.
Yang mencintai kader, bukan memperalat mereka.
Yang menuntun kita menuju kemuliaan, bukan membawa kita pada kebanggaan semu.

Semoga Allah meridhoi setiap langkah perjuangan ini, dan menumbuhkan kembali pemimpin-pemimpin yang lahir dari rahim ikhlas dan tanggung jawab sejarah. Amin.

Advertisement