LEGIONNEWS.COM – NASIONAL, Tiga orang Wartawan masing-masing Hientje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharti Santoso menggugat Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers terkait dengan Pasal 15 Ayat 2 huruf f dan Pasal 15 Ayat 5 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
iga wartawan yang mengajukan gugatan dan uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas dua pasal dalam undang-undang tersebut.
“Pemohon I, II, dan III sebagai perorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi,” kata kuasa hukum para pemohon Vincent Suriadinata dalam perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 di Jakarta, Rabu.
Perlindungan sebagai pribadi tersebut, sambung dia, terkait ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kerugian hak-hak konstitusional para pemohon dibuktikan dengan terhalangnya hak organisasi pers berbadan hukum untuk menyusun peraturan-peraturan organisasi pers secara mandiri.
Mahkamah Konstitusi (MK) RI menolak gugatan pengujian UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang diajukan oleh tiga orang wartawan.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman, saat membacakan amar putusan perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Rabu, (31/8/2022).
Dalam kesimpulannya, Usman yang bertindak sebagai ketua sekaligus merangkap anggota mengatakan pokok permohonan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhannya.
Pada bagian pokok permohonan yang dibacakan langsung hakim Daniel Foekh mengatakan pemohon mendalilkan inskonstitusionalitas pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (5) UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
Dalil-dalil yang disampaikan pemohon yakni fungsi Dewan Pers pada pasal 15 ayat (2) huruf f UU Nomor 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir. Akibatnya, menurut pemohon, Dewan Pers menafsirkan kata “memfasilitasi” menjadi memonopoli serta mengambil alih peran organisasi pers dalam menyusun peraturan perundang-undangan di bidang pers.
Termasuk tidak memberdayakan organisasi pers yang sudah ada. Seharusnya, menurut pemohon Dewan Pers bukan sebagai regulator melainkan hanya menjalankan fungsi memfasilitasi organisasi pers.
Dalil berikutnya yang disampaikan pemohon ialah Dewan Pers dinilai telah melampaui kewenangannya membuat keputusan yang mengambil wewenang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk melaksanakan uji kompetensi wartawan (UKW).
Padahal, tidak satupun pasal dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang mengatur kewenangan Dewan Pers untuk mengeluarkan surat keputusan setara dengan lisensi BNSP.
Para pemohon I dan pemohon II mengaku juga telah mendirikan lembaga sertifikasi profesi Pers Indonesia yang bersertifikat resmi dari BNSP untuk melaksanakan UKW menggunakan standar kompetensi kerja. Hal itu sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/2016 tentang sistem standarisasi kompetensi kerja nasional.
Hal itu menurut pemohon berbeda dengan Dewan Pers yang hanya menggunakan standar kompetensi wartawan berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/X/2018 tentang standar kompetensi wartawan.
Tidak hanya itu, menurut pemohon pasal 15 ayat (2) menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai anggota Dewan pers melalui Keputusan Presiden.
Para pemohon mendalilkan seharusnya Keputusan Presiden hanya bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers.
Berikutnya, kata Foekh, pemohon juga mendalilkan hasil pemilihan anggota Dewan Pers tidak melibatkan seluruh organisasi pers yang berbadan hukum yang disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Melainkan anggota Dewan Pers hanya oleh organisasi pers konstituen Dewan Pers, sehingga pemohon juga kehilangan untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers. (Antara)