MK Batalkan Anggota DPRD Jatim dan Gubernur Sumsel Jadi Ketua KONI

FOTO: Logo KONI Kota Makassar
FOTO: Logo KONI Kota Makassar.

LEGIONNEWS.COM – Upaya hukum dilakukan oleh Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur (Jatim) Saleh Ismail Mukadar dan Ir. Syahrial Oesman Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) untuk melanggengkan posisinya sebagai Ketua KONI Surabaya dan Sumut, pupus sudah.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan permohonannya.

Permohonan itu terkait dengan uji materi Pasal 40 Undang Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN).

Bunyi Pasal 40; “Pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik”

Tujuan dari Pasal 40 UU SKN, untuk menghindari timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest) maupun dalam rangka menjaga netralitas dalam pembinaan keolahragaan nasional.

Maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan batasan agar pengelolaan tersebut dapat dilakukan secara profesional dan fokus, yakni dengan melarang pejabat publik merangkap jabatan menjadi ketua umum KONI.

Kala itu, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault dan Anggota DPR RI H.M. Akil memberikan keterangan dalam sidang pengujian Pasal 40 UU SKN di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1/2008) lalu.

Mahkamah Konstitusi pernah menguji Pasal 40 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang melarang pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dijabat oleh pejabat publik merupakan bentuk perlindungan umum bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi memajukan olahraga Indonesia.

Demikian antara lain rangkuman pernyataan yang diberikan oleh Menpora Adhyaksa Dault dan Anggota DPR RI H.M. Akil Mochtar saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian Pasal 40 UU SKN di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1).

Menurut Adhyaksa, ketentuan dalam Pasal 40 UU SKN yang melarang pengurus KONI dijabat oleh pejabat publik merupakan bentuk perlindungan umum bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi memajukan olahraga Indonesia.

Karena itu, lanjutnya, Pemerintah berpendapat ketentuan tersebut justru telah memberikan jaminan atas terciptanya kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Utamanya adalah memberikan kesempatan yang sama terhadap masyarakat setiap orang yang bukan sebagai pejabat publik maupun struktural.

“Kalau Ketua KONI dijabat oleh gubernur/wakil gubernur belum tentu satu kali dalam sebulan hadir ke lapangan, apalagi jangkauan wilayah kita sangat luas, sebab perlu fokus,” ujar Menpora yang juga mantan Ketua Umum KNPI.

Lebih lanjut Adhyaksa juga menambahkan, mengenai alasan pendanaan, di dalam Pasal 69 UU SKN telah secara jelas diatur bahwa pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Sehingga tanpa rangkap jabatan antara Ketua KONI dengan gubernur atau anggota DPRD sekalipun, jaminan akan pendanaan bagi olahraga akan tetap ada.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Akil Mochtar yang hadir sebagai Kuasa Hukum DPR RI.

Akil menegaskan bahwa kemandirian suatu Komite Olahraga Nasional Provinsi, Kabupaten/Kota diperlukan untuk menegaskan prinsip transparan dan akuntabilitas yang pada pokoknya memberikan peluang mekanisme kontrol untuk menghilangkan kekurangan dan penyimpangan, sehingga tujuan dan sasaran keolahragaan nasional dapat tercapai.

Oleh karenanya, menurut Akil, untuk menjaga netralitas dan keprofesionalan pengelolaan keolahragaan, perlu diatur mengenai kepengurusan komite olahraga agar tidak terkait dengan jabatan struktural dan jabatan politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 UU SKN.

“Yang boleh menjadi pengurus KONI dan menjadi induk pengurus olahraga itu adalah bukan pejabat publik, bukan pejabat struktural, sehingga olahraga ini diurus dengan sepenuh waktu dan tidak membuka peluang adanya KKN yang dilakukan oleh pejabat-pejabat KONI atau pejabat induk organisasi yang merangkap jabatan-jabatan di pemerintahan,” ujar Akil.

Akil juga menambahkan, Gubernur sebagai kepala daerah, mempunyai tugas dan wewenang untuk menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.

“Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2001 tentang KONI yang menyatakan bahwa anggaran untuk melaksanakan kegiatan keolahragaan juga berasal dari bantuan APBN dan APBD, maka hal itu akan menjadi rancu di mana pada satu pihak sebagai gubernur penentu APBD tetapi di pihak lain Sebagai ketua KONI, dia juga menjadi penerima APBD itu sendiri,” imbuh Akil.

Pengujian Pasal 40 UU SKN yang berbunyi Pengurus Komite Olahraga Nasional, Komite Olah Raga Provinsi, Komite Olahraga Kabupaten/Kota yang sifatnya mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik dimohonkan oleh Ketua KONI Surabaya Saleh Ismail Mukadar yang juga Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur dan Ir. Syahrial Oesman Gubernur Sumatera Selatan yang merangkap Ketua KONI Provinsi Sumatera Selatan.

Para Pemohon menganggap ketentuan tersebut telah menghilangkan makna perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di depan hukum, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Para pemohon juga menganggap bahwa Pasal 40 UU SKN telah terbukti sangat diskriminatif karena ketentuan tersebut hanya diberlakukan bagi pengurus komite olahraga sedangkan pengurus olah raga untuk suatu cabang olahraga tidak dilarang dijabat oleh pejabat publik.

Padahal menurut para Pemohon, dengan dijabat oleh gubernur, bupati/walikota maka KONI Daerah akan terbantu dalam melakukan pembinaan dan memajukan olahraga di daerah terutama dalam hal penyediaan anggaran dan pendanaan olahraga.

Advertisement