Oleh : Asratillah
Antara Wacana dan Realitas
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Di permukaan, bahasa kebanyakan orang tentang peluang di Indonesia terdengar ramah, kerja keras, capai prestasi, dan pintu-pintu karier—dari kampus hingga birokrasi—akan terbuka lebar.
Namun di balik slogan itu, realitas sosial sering menampakkan wajah lain. Ketimpangan ekonomi yang tetap besar, pengangguran muda yang jumlahnya cukup signifikan, serta akses pendidikan yang timpang membuat janji meritokrasi kerap berubah menjadi janji kosong bagi banyak orang.
BPS melaporkan bahwa Gini Ratio Indonesia masih berada pada level yang menunjukkan ketimpangan signifikan—0,375 pada Maret 2025—sebuah tanda bahwa distribusi pendapatan dan kesempatan tetap jauh dari kata rata.
Fenomena yang saya sebut pseudo-meritokrasi (meritokrasi palsu) bukan hanya soal ketidakcocokan antara wacana dan realitas; ia adalah tata praktik di mana instrumen-instrumen yang seharusnya mengukur prestasi—nilai ujian, ijazah, sertifikat, penilaian kinerja—dipakai dalam konteks yang sudah dibentuk oleh privilese.
Di kota-kota besar, anak muda Gen Z berada di posisi yang bercabang: sebagian menikmati akses internet tinggi, kursus berbayar, dan jejaring yang memberi keuntungan, sementara sebagian lain terjebak pada sekolah di daerah yang masih “under-resourced” dan pasar kerja yang menuntut pengalaman yang tak dapat dibeli.
Data menunjukkan Gen Z (lahir 1997–2012) kini menjadi generasi terbesar di Indonesia—sekitar 27.94% dari populasi, sekitar 75 juta jiwa—suatu besaran demografis yang tidak bisa dipandang remeh ketika membicarakan politik dan ekonomi masa depan.
Sisi digital memperkuat paradoks ini. Generasi Z menguasai dunia daring, penetrasi internet yang cepat dan penggunaan media sosial membuat mereka sangat peka terhadap ketidakadilan simbolik dan material. Laporan menunjukkan internet dan media sosial menjadi pilar kehidupan Gen Z—sebagai ruang belajar, ruang kerja, ruang berkoneksi, dan ruang politik—dengan tingkat penetrasi yang tinggi di kalangan muda.
Namun internet bukanlah jaminan akses adil, ia justru melipatgandakan efek “cumulative advantage”, yang sudah punya modal digital dan ekonomi cenderung memanen peluang lebih banyak.
Ekonomi juga memberikan alarm. Angka pengangguran muda tetap tinggi. Estimasi per 2024 menempatkan tingkat pengangguran usia 15–24 di kisaran belasan persen—suatu angka yang bagi generasi muda berarti kompetisi ketat, kontrak kerja tidak pasti, dan mobilitas sosial yang terhambat.
Ketika janji merit tidak menyertai kebijakan redistributif yang kuat, rasa ketidakadilan ekonomi bertemu dengan narasi merit yang mengambang—hasilnya adalah kecenderungan generasi muda memandang struktur sosial sebagai penghalang, bukan arena yang adil.
Dalam praktik pemerintahan sehari-hari, tanda-tanda pseudo-meritokrasi muncul pula, sistem penilaian yang tampak objektif tapi berujung pada kuota—misalnya pembagian kinerja yang dipatok agar sejumlah pegawai selalu masuk dalam kategori “sangat baik” atau “kurang”—menghasilkan penilaian relatif yang meniadakan merit absolut.
Ketika penghargaan tak lagi merefleksikan capaian konkret, moralitas publik terganggu, legitimasi institusional melorot, dan kepercayaan warga terutama generasi muda terhadap sistem menipis.
Dua Kacamata untuk Membaca Pseudomeritokrasi
Membaca fenomena ini tanpa bantuan teori berarti menyaksikannya secara fragmentaris. Dua pemikir memberikan lensa yang cukup berharga, Michael Sandel dan Cornelius Castoriadis.
Keduanya membahas masalah yang relatif sama—hubungan antara institusi, makna, dan otonomi—tetapi menekannya dari arah yang berbeda sehingga ketika digabungkan keduanya memberikan pembacaan yang lebih kaya.
Sandel dalam “The Tyranny of Merit” (2020) menyoroti bagaimana meritokrasi bisa menjadi tirani. Baginya, meritokrasi yang tidak sadar akan konteks struktur sosial melahirkan dua luka moral, hubris bagi yang menang—yakni keyakinan bahwa kemenangan adalah bukti kebajikan personal—dan humiliation bagi yang kalah—yakni pengucilan yang dipandang sebagai kelalaian moral.
Sandel mengingatkan bahwa kesuksesan individu berakar pada faktor-faktor kebetulan dan dukungan sosial yang sering tak diakui (lingkungan keluarga, kualitas sekolah, jaringan), sehingga klaim “aku pantas karena kerja kerasku semata” berisiko menutupi tanggung jawab kolektif.
Bila merit dipakai sebagai legitimasi untuk menolak redistribusi atau reformasi, akibatnya adalah patahnya solidaritas sosial dan hausnya politik yang merespon luka kolektif..
Castoriadis menawarkan sudut berbeda tetapi resonan. Dalam “The Imaginary Institution of Society” (1975) ia menggeser pemahaman kita tentang masyarakat, ia bukanlah sekumpulan individu yang tunduk pada hukum-hukum objektif, melainkan suatu hasil dari penciptaan imajinatif kolektif.
Imajinasi di sini bukan sekadar fantasi, melainkan daya kreatif radikal yang memungkinkan manusia bersama-sama menciptakan dunia simbolik, seperti hukum, lembaga, bahasa, institusi agama, bahkan kategori ekonomi seperti “pasar” atau “produktivitas.”
Semua itu, bagi Castoriadis, tidak pernah hadir sebagai hukum alamiah yang bersifat mutlak, melainkan sebagai hasil kerja imajinasi sosial yang kemudian dilembagakan.
Meritokrasi, jika dilihat dari kaca mata ini, bukan sekadar sistem teknis untuk menilai prestasi individu. Ia adalah narasi modern yang mengandaikan bahwa keadilan sosial bisa diukur dan dibagikan secara proporsional sesuai kemampuan.
Narasi ini beroperasi dalam ranah imajiner, ia menanamkan keyakinan bahwa nilai ujian, indeks kinerja, atau sertifikat adalah “cermin objektif” dari kualitas manusia.
Padahal, sebagaimana semua institusi, meritokrasi adalah konstruksi, ia lahir dari sejarah tertentu, dipelihara oleh simbol tertentu, dan bisa berubah bila masyarakat memilih imajinasi lain.
Di titik inilah Castoriadis memperkenalkan konsep “autonomy”. Bagi dia, masyarakat sehat adalah masyarakat yang sadar bahwa aturan—baik hukum negara maupun norma sosial—dibuat oleh manusia, bukan diturunkan dari luar. Masyarakat yang otonom tahu bahwa mereka sendiri pencipta hukum dan dengan demikian mereka juga bisa mengubahnya.
Sebaliknya, masyarakat yang heteronom adalah masyarakat yang memandang aturan seolah berasal dari sumber eksternal yang tak bisa digugat, apakah itu dianggap bersumber dari Tuhan, alam, hukum sejarah, atau bahkan “mekanisme pasar.” Heteronomi membuat masyarakat tunduk, merasa tidak punya daya untuk menata ulang.
Jika kita aplikasikan pada meritokrasi di Indonesia, imajinasi merit sering beroperasi secara heteronom. Kita dipaksa percaya bahwa sistem seleksi CPNS, indeks kinerja ASN, atau ranking sekolah adalah mekanisme objektif yang netral.
Seolah-olah ia hukum alam yang tak bisa ditawar. Padahal kenyataannya, sistem itu bisa dipengaruhi kuota, privilese akses, bahkan rekayasa politik. Ketika meritokrasi diperlakukan sebagai dogma yang tak bisa ditantang, kita jatuh dalam heteronomi, menerima aturan yang tidak adil seakan itu takdir.
Castoriadis mengajak kita untuk membalik sikap itu. Jika meritokrasi adalah ciptaan imajinasi sosial, maka ia juga bisa diubah melalui imajinasi sosial yang baru—imajinasi yang lebih adil, yang mengakui bahwa keberhasilan tidak hanya produk individu, melainkan juga struktur, keberuntungan, dan dukungan kolektif.
Dengan begitu, autonomy bukan hanya soal kebebasan individu, tapi keberanian kolektif untuk menulis ulang institusi, merevisi merit yang palsu, dan merancang sistem pengakuan yang sesuai dengan keadilan yang kita bayangkan bersama. Sandel memperingatkan luka moral yang muncul ketika merit dipakai sebagai penutup ketidakadilan, Castoriadis menuntut refleksi tentang asal-mula institusi dan kapasitas masyarakat untuk mengubahnya.
Bersama-sama, keduanya menunjukkan bahwa pseudo-meritokrasi adalah masalah etika sekaligus imajinatif, etika karena melibatkan pengakuan martabat dan distribusi penghargaan, imajinatif karena melibatkan narasi yang menjustifikasi pembagian sosial.
Sandel menanyakan, siapa yang merasa pantas? Castoriadis menanyakan, mengapa kita menerima aturan yang membuat beberapa pihak tidak pantas?
Secara praktis, Sandel memaksa pembuat kebijakan untuk mengakui peran keberuntungan dan struktur pada hasil individu—yang berarti kebijakan harus mengurangi beban simbolik pada mereka yang tertinggal.
Castoriadis memaksa kita untuk memikirkan demokrasi sebagai praktik otonom, kebijakan bukanlah teka-teki teknokratis yang datang dari atas, melainkan hasil proses kolektif yang dapat dirubah oleh warga yang sadar.
Keduanya menuntut agar merit kembali menjadi instrumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan institusional.
Peran Politik yang Nyata Generasi Z
Kalau Sandel dan Castoriadis memberi kita diagnosis dan kerangka perubahan, generasi Z adalah aktor yang bisa menuntaskan terapi tersebut—jika mereka memilih strategi yang sadar dan kolektif.
Pelajaran dari gelombang protes Gen Z di Nepal baru-baru ini menegaskan dua hal, satu, generasi ini bisa memobilisasi cepat melalui ruang digital dan mentransfer mobilisasi itu ke ruang publik, kesadaran kolektif mereka sering tidak terjebak pada narasi partisan tradisional sehingga menuntut perubahan struktural.
Dalam konteks Indonesia, peran politik Gen Z bisa ditempatkan pada tiga poros strategis yang saling menopang. Pertama, menghasilkan kritis publik digital yang transformatif, Gen Z sudah piawai membentuk narasi lewat meme, video, dan kampanye kreatif—namun tantangannya adalah mengubah viralitas menjadi tuntutan kebijakan yang jelas.
Gen Z harus belajar merangkai tuntutan yang konkret—misalnya reformasi akses pendidikan, transparansi rekrutmen CPNS, atau revisi mekanisme penilaian kinerja yang menghapus kuota artifisial—dan menempatkannya di agenda publik sehingga legislatif dan eksekutif tak bisa mengabaikan.
Di sinilah sandi Castoriadis berguna, politik bukan sekadar seruan gaya, ia menuntut penciptaan institusi baru melalui imajinasi kolektif.
Kedua, membangun institusi alternatif yang memberi kredibilitas pada klaim merit yang sejati. Jika pemerintahan gagal menerapkan penilaian yang adil, civitas Gen Z dapat menciptakan observatorium independen—jaringan akademik, NGO, dan tech-lab yang mengaudit proses seleksi publik dan menyiarkan temuan secara transparan.
Langkah ini menggabungkan tuntutan Sandel tentang pengakuan peran struktur dan Castoriadis tentang otonomi institusional, masyarakat membuat lembaga yang menuntut akuntabilitas dari dirinya sendiri.
Ketiga, menghubungkan aksi digital dengan aksi politik lokal yang berkelanjutan. Berbeda dengan ledakan emosi yang cepat luntur, perubahan institusional menuntut kerja panjang: pengorganisasian berbasis komunitas, partisipasi dalam musrenbang, dan pengisian posisi lembaga publik oleh generasi muda yang punya integritas.
Gen Z perlu menerjemahkan perlawanan simbolik menjadi kapasitas administratif—melatih kader-kader muda yang memahami tata kelola, regulasi, dan teknik lobi berbasis bukti. Pelajaran Nepal menunjukkan bahwa gelombang protes efektif bila diakhiri dengan agenda transisi politik yang jelas; di Indonesia, Gen Z dapat memainkan peran pengawal agar tuntutan tak sekedar diserap sebagai formalitas administratif belaka
Menutup peluang manipulasi narasi adalah kunci. Di sinilah Sandel kembali relevan, Gen Z harus menuntut perubahan—mendorong kebijakan afirmatif berdasarkan bukti (misalnya beasiswa, program penajaman keterampilan untuk daerah tertinggal, reforma merit berbasis ambang nilai bukan kuota).
Dengan kata lain, perjuangan mereka harus menggabungkan “moral argument” (keadilan pengakuan) dan desain institusional (mekanisme transparan untuk alokasi penghargaan).
Castoriadis mengingatkan bahwa ketika masyarakat menyadari kemampuan kreatifnya, ia tak lagi tunduk pada dogma merit yang palsu—dan generasi muda adalah sumber daya imajinatif terbesar untuk perubahan itu.
Akhirnya, peran politik Gen Z bukanlah sekadar menuntut dan marah, ia adalah kerja panjang membangun kapasitas kolektif—membuat lembaga, menulis ulang naskah publik, dan menuntut akuntabilitas.
Jika mereka dapat menautkan kreativitas digital dengan strategi institusional yang matang, maka janji merit di negeri ini punya peluang untuk kembali menjadi janji—bukan racun. Sandel dan Castoriadis mengajarkan, keadilan bukan sekadar soal distribusi, melainkan soal pengakuan dan kapasitas otonom untuk merumuskan ulang kebijakan dan lembaga publik.
Gen Z, bila bersatu dan strategis, dapat menjadi agen pembaruan itu—menulis ulang apa yang dianggap “layak” dan bagaimana kita bersama menentukan siapa yang pantas menerima.

























