Menkeu Sri: Kalau Ngak Minjam, Belanja APBN Bisa Tertunda

JAKARTA, Legion News – Utang luar negeri Indonesia mengalami kenaikan. Hingga akhir Mei 2020, utang luar negeri tercatat naik hingga tembus US$404,7 miliar atau setara dengan Rp5.949 triliun.

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pun angkat bicara.

Dalam diskusi santai lewat akun Instagram resminya, Sri Mulyani, mengatakan, di Indonesia pembahasan utang bisa bermacam-macam dimensinya. Sebagian masyarakat menyebut utang itu haram dan riba, ada yang benci, dan ada yang tidak bisa menerima seolah utang itu mengkhawatirkan.

“Mengelola keuangan negara itu ada penerimaan, belanja, pembiayaan termasuk investasi. Dari sisi penerimaan sumbernya apa saja? Dari pajak, bea cukai, penerimaan negara bukan pajak, juga hibah bisa jadi penerimaan,” kata Sri Mulyani, Sabtu 18 Juli 2020.

Advertisement

Ia mengatakan, jika sebuah negara semakin kuat, penerimaan pajak pun akan semakin besar. Umumnya penerimaan pajak berasal dari korporasi, usaha besar, usaha menengah dan kecil, semua kegiatan dari para pekerja mulai dari Aparatur Sipil Negara, hingga guru dan masyarakat swasta.

“Kalau bicara kita punya utang, kita juga perlu melakukan pengumpulan pendapatan dari berbagai sumber. Kalau sudah dapat penerimaan itu, kita juga bicara belanja. Belanja untuk apa saja negara sebesar Indonesia,” ujarnya bertanya.

Sri Mulyani mengatakan, untuk masyarakat salah satu yang utama adalah pendidikan, apalagi konstitusi mengatur untuk alokasi pendidikan harus sebesar 20 persen. Selain itu, belanja negara dialokasikan untuk sektor kesehatan, bagaimana mengurangi kemiskinan, membangun infrastruktur, riset dan teknologi, pertahanan alutsista, dan masih banyak lagi.

“Nah, kalau belanjanya lebih banyak dari pendapatan yang bisa kita kumpulkan, ya kita mencari utang. Utangnya untuk apa dulu, kalau untuk infrastruktur menjadi baik supaya anak bisa sekolah, tidak menjadi generasi yang hilang, itu adalah kebijakan,” tuturnya.

“Kalau nggak utang, berarti kita menunda semua kebutuhan infrastruktur, pendidikan, kesehatan misalnya. Jadi negara kita isinya 260 juta jiwa tapi anak-anaknya kurang sekolah, kurang gizi, bisa miskin,” ungkapnya.

Menteri berusia 57 tahun itu mengakui, ketika berbicara soal utang negara, banyak masyarakat yang sensitif dan cenderung menggunakan nada benci. Padahal, menurutnya, ketika berbicara soal kebijakan itu, tidak perlu menggunakan kebencian terlebih bahasa kasar.

Bahkan, ia menyebut semua negara di dunia, termasuk negara-negara Islam, juga memiliki utang luar negeri. Ia membeberkan beberapa negara di antaranya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Tunisia, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Kazakhstan, dan negara-negara Islam di Afrika.

“Maka semua mari kita coba lihat semua aspek, kita ingin namanya uang negara itu kan uang rakyat. Uang kita semua maka kita sering sebut ini uang kita, lihatin semuanya tidak hanya utang, tapi juga pajaknya, belanjanya dan investasinya,” kata dia.

“Maka kita debatnya menjadi bagus, sehat gitu jadi enggak ada bencinya apalagi sampai omong kasar menurut saya enggak bagus,” ujar Sri.

“Maka kita debatnya menjadi bagus, sehat gitu jadi enggak ada bencinya apalagi sampai omong kasar menurut saya enggak bagus,” ujar Sri.(*)

Advertisement