Oleh : Ahmad Khozinudin Sastrawan Politik dan Ketua LBH Pelita Ummat
EDUKASI||Legion-news.com Dalam doktrin militer, dikenal adagium “Tidak Menyerang, Kecuali Untuk Menang”. Artinya, setiap invasi yang dilakukan, targetnya adalah kemenangan. Invasi bukan dilakukan sekedar untuk berperang, atau gagah gagahan, tapi untuk menang.
Karenanya, sebelum melakukan invasi (serangan), seluruh kalkulasi dan kemungkinan dipertimbangkan. Kekuatan internal, kekuatan musuh, faktor intervensi dari pihak lain, semua dihitung. Jika simpulan akhir perang belum dapat dimenangkan, invasi ditunda sampai faktor kemenangan terpenuhi.
Invasi ditunda, baik untuk menunggu kekuatan internal lebih meningkat, menunggu celah kelemahan dan kelengahan musuh, memanfaatkan kekuatan pihak ketiga. Begitulah seterusnya. Sederhananya, menyerang dilakukan untuk menang.
Doktrin menyerang ini berbeda dengan bertahan. Jika bertahan, semboyannya kalahkan musuh, pertahankan benteng, buat kerugian sebesarnya terhadap musuh. Bertahan, tidak menunggu internal menguat atau musuh melemah. Bertahan, wajib dilakukan apapun kondisinya.
Dalam konteks kebijakan politik, hal itu juga mirip. Kebijakan hanya akan diambil jika memiliki faktor pendukung dan simpulan akhir kebijakan dapat dieksekusi. Mengumumkan kebijakan namun tak dapat dieksekusi, selain tindakan sia-sia juga akan meruntuhkan wibawa pihak yang mengeluarkan kebijakan.
Jika dalam kalkulasi, kebijakan belumlah dapat dilakukan, baik karena tidak mendapat legitimasi publik, dukungan publik mengarah pada pihak lain, internal pemangku kebijakan belum solid, semestinya kebijakan ditunda sampai saat yang tepat. Esensi kebijakan bukanlah pamer kekuasaan, tapi untuk menunjukkan kekuasaan efektif dijalankan.
Keluarnya SKB 6 menteri terkait pembubaran dan pelarangan FPI tidak dibuat dengan kalkulasi yang matang. Akhirnya, kebijakan ini ditentang publik, tidak mendapatkan legitimasi, justru meningkatkan simpati kepada FPI, dan yang paling celaka kebijakan ini hanya berakhir diatas kertas. Kebijakan ini tak dapat dieksekusi, seiring deklarasi FPI menjadi Front Persatuan Islam.
Maklumat Kapolri juga demikian. Maklumat yang tidak dikaji mendalam, hanya muncul merespons penolakan opini publik pada keputusan pembubaran dan pelarangan FPI. Akhirnya, maklumat ini tidak bernilai, tidak memiliki kekuatan eksekusi, hanya berakhir diatas kertas.
Bahkan, insan pers meminta Kapolri mencabut maklumat khususnya terkait larangan yang bisa membelenggu dan menggangu tugas-tugas Jurnalistik. Meskipun maklumat tidak mungkin dicabut, namun maklumat ini secara de facto tak bernilai, tak memiliki kekuatan eksekusi.
Itulah, pentingnya mengukur tindakan sebelum mengambil keputusan. Keputusan penerbitan SKB 6 Menteri, tidak terukur, tidak melalui sejumlah kajian yang matang. Lebih dari dilatarbelakangi semangat dan syahwat ingin membungkam FPI.
Diduga, juga lebih dilatarbelakangi ketakutan rezim atas tuntutan publik untuk mengungkap tragedi kematian 6 anggota FPI oleh tembakan polisi. Dua emosi inilah, yang menyebabkan keputusan dan kebijakan pemerintah tidak bernilai, selain tidak memiliki legitimasi hukum, juga tak mendapatkan legitimasi publik.
Karena itu, bagi publik yang waras, tetap gunakan otak untuk menghadapi rezim zalim. Tak perlu ikutan emosi, woles saja. Pemenang pertempuran politik adalah siapa yang cerdik, bukan siapa yang punya kuasa.
Tunggu saja, rezim melakukan blunder yang lain, dan sibuk merevisi kebijakan kelirunya. Kita hadapi dengan santai, sambil minum kopi.