PENULIS: Miftahul Arifin Koordinator Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Permasalahan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen kembali menjadi perbincangan hangat di ruang publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
Selanjutnya, MK meminta DPR mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029 dan pemilu-pemilu yang akan datang. Penghapusan ambang batas parlemen ini tentunya mendapatkan sejumlah respons dari berbagai kalangan tak terkecuali dari partai politik. Salah satunya datang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang langsung mematok angka 2,5 persen, kembali seperti Pemilu 2009. Sementara, Partai Amanat Nasional (PAN) menginginkan 2-3 persen, sedangkan Partai Nasdem memilih untuk menaikkan jadi 7 persen dengan alasan untuk penyederhanaan partai politik.
Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi berpandangan angka batas parlemen menjadi 2,5 persen sudah tepat untuk meminimalkan disproporsionalitas antara suara sah dan penentuan jumlah kursi, sekaligus memperkuat penyederhanaan partai politik di DPR RI. Dan ide penyederhanaan partai politik di DPR, tidak boleh berbenturan dengan keharusan menjaga prinsip proporsionalitas hasil pemilu dengan penentuan jumlah kursi di DPR.
Namun kata dia, bila angka ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen sebagaimana keinginan partai Nasdem justru melawan putusan MK. Pertimbangan MK menghapus angka 4 persen karena menyebabkan pemilu yang disproporsional dan banyak suara yang terbuang. Oleh sebab itu, untuk menentukan angka ambang batas parlemen harus dihitung dengan angka yang akademik dan rasional.
Sementara mantan Ketua MK Mahfud MD memuji putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional. Ia berharap nantinya ambang batas parlemen itu tetap harus ada minimal dua persen. Hal itu sudah diatur sebagai kerangka dasar yang dibangun sejak awal reformasi.
Ambang Batas vs Kedaulatan Rakyat
Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Berkaca dari pengalaman pemilu yang lalu-lalu, banyak sekali suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, banyak suara sah namun terbuang karena partai politiknya tidak punya cukup suara memenuhi ambang batas parlemen. Dan, suara terbuang ini sangat mempengaruhi proporsionalitas penghitungan perolehan suara-kursi.
Penggunaan ambang batas parlemen yang terus naik dari pemilu ke pemilu, misalnya; Pemilu 2009 (2,5 persen), Pemilu 2014 (3,5 persen), dan Pemilu 2019 (4 persen), terbukti gagal menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Faktanya ambang batas parlemen tidak cukup efektif untuk menyederhanakan sistem kepartaian dengan menetapkan batas minimal perolehan suara pemilu parlemen dengan persentase tertentu.
Sebenarnya penggunaan ambang batas parlemen sebagai instrumen untuk menyederhanakan sistem kepartaian sudah banyak ditinggalkan banyak negara penganut demokrasi. Namun dalam konteks Indonesia ambang batas parlemen tetap perlu digunakan dengan tujuan menyaring partai-partai politik yang tidak memiliki dukungan signifikan, dengan catatan ambang batas parlemen jangan sampai memperbanyak suara terbuang karena hal ini berdampak pada proporsionalitas hasil pemilu.
Alasan MK menghapus ambang batas parlemen 4 persen cukup rasional, dan sesuai dengan semangat demokrasi. MK menilai ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Artinya, bila diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu (berapapun suara yang diperoleh) selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu (tetap) menjadi proporsional. Hal ini dimaksudkan agar dalam sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.
Dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas itu, misalnya pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7 persen suara sah secara nasional. Meski pada Pemilu 2014 hanya terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 2,4 persen dari suara sah secara nasional, namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019 yaitu 10 fraksi partai politik.
MK menambahkan bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR. Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif. Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih.
Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen. Lebih jauh lagi jika ditinjau dari aspek kedaulatan rakyat penerapan ambang batas parlemen dalam pemilu ini sebenarnya banyak menimbulkan permasalahan, karena konsep ambang batas dapat mengurangi dari arti kedaulatan rakyat yang sesungguhnya sesuai amanat UUD 1945. Oleh karena itu penerapan ambang batas dalam sistem pemilu akan menjadi ukuran sejauh mana konsistensi penyelenggara negara terhadap prinsip kedaulatan rakyat seperti dalam UUD 1945.
Semakin sistem memberikan ruang lebih luas dan banyak bagi rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya, sistem itu lebih mendekati hakikat kedaulatan rakyat. Begitupun sebaliknya, semakin sistem mempersempit ruang bagi rakyat menentukan pilihannya, maka sistem tersebut akan semakin menjauh dari hakikat kedaulatan.Bung Hatta mengatakan kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang dipercayai oleh rakyat. Gagasan besar tentang kedaulatan rakyat sebenarnya cukup sederhana, yakni rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri.
Merumuskan Kembali Sistem Pemilu
Jika dilihat kembali, sistem pemilu di Indonesia pasca Reformasi selalu berubah dan sistem pun juga berubah. Berbagai persoalan dan inkonsistens pemaknaan kedaulatan rakyat dalam penentuan sistem pemilu pada peraturan perundang-undangan. Sebab itu ke depan harus ada perbaikan yang signifikan terhadap sistem pemilu, misalnya menata kembali sistem pemilu khususnya pemilu legislatif yang selama ini telah digunakan.
Dalam perspektif pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat, penataan sistem pemilu legislatif mesti diarahkan pada penerapan prinsip esensial dan prosedural. Ini dimaksudkan agar lebih dekat dan memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Maka secara teknis pelaksanaan, sistem pemilu mesti dibenahi dan diarahkan menjadi sistem pemilu yang sederhana, simpel secara administratif dan pembiayaannya murah.
Rakyat menginginkan pemilu yang berkualitas, jujur, adil dan transparan untuk masa depan demokrasi Indonesia lebih baik. Untuk itu perbaikan regulasi tidak boleh tidak mesti dilakukan sesegera mungkin. Pemilu mendatang harus dipilih sistem pemilu yang sesuai dengan prinsip kenegaraan Indonesia serta kedaulatan rakyat yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.