PEMERINTAH – Banyak pihak mempertanyakan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah menyebut terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan bukti komitmen pemerintah memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja dan keberlangsungan usaha menjawab dinamika ketenagakerjaan.
Dalam keterangan di Jakarta, Rabu, Menaker Ida Fauziyah mengatakan bahwa substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” kata Menaker dalam keterangan tertulis.
Dia menjelaskan bahwa beberapa substansi sektor ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu ini, seperti ketentuan alih daya atau outsourcing. Sebelumnya, di dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perppu tertanggal 30 Desember 2022 itu jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini, tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah,” kata Menaker.
Dalam aturan itu dilakukan juga penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam PP.
Pada Perppu itu ditegaskan gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi dari pada UMP.
Di dalamnya juga terdapat penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Selain itu, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dilakukan pula perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Menaker menjelaskan perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah, antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta.
Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
“Berdasarkan hal-hal tersebut pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh, juga keberlangsungan usaha,” kata Menaker. (Antara)