Media Sosial Dijadikan Gerakan Revolusi oleh Gen Z, Bendera Bajak Laut Jadi Simbol Perlawanan

0
FOTO: Para Gen Z saat melakukan aksi unjuk rasa besar besaran di jalanan Kathmandu Nepal. (Sumber media sosial)
FOTO: Para Gen Z saat melakukan aksi unjuk rasa besar besaran di jalanan Kathmandu Nepal. (Sumber media sosial)

LEGIONNEWS.COM – Bermula dari kebijakan pemerintah Nepal yang melarang akses ke puluhan platform media sosial. Akibatnya negara yang berpenduduk 29,6 juta jiwa mengalami aksi gelombang protes besar.

Aksi perlawanan terhadap kebijakan pemerintah itu dimotori oleh generasi Z atau kerap dikenal dengan Gen Z. Aksi yang dikenal sebagai “Gen Z Protests”.

Para Gen Z itu merasa kebijakan pemerintah setempat dianggap mengancam ruang hidup digital generasi muda sekaligus memutus sumber ekonomi kreator konten.

Namun, kemarahan anak muda Nepal cepat melebar menjadi tuntutan antikorupsi dan penolakan nepotisme.

Di berbagai platform media sosial para Gen Z Nepal menyoroti gaya hidup mewah anak pejabat atau yang disebut “nepo kids” atau “nepo babies”.

Saat aksi protes besar besaran berlangsung bendera One Piece, bajak laut Jolly Roger itu dijadikan simbol perlawanan Gen Z di negara Nepal.

Kini bendera bajak laut pimpinan Luffy jadi simbol perlawanan dibanyak negara seperti Nepal, Filipina dan Prancis.

Tengkorak kartun di kain hitam, yang dulunya hanya terbatas pada penggemar anime Jepang, kini jadi ikon protes di beberapa wilayah Asia.

Bendera Jolly Roger muncul dalam protes di Filipina hingga Nepal. Di Nepal, para pengunjuk rasa mengadopsi bendera Jolly Roger.

Straits Times melaporkan bendera Jolly Roger pertama kali digunakan dalam protes oleh massa aksi Indonesia di sejumlah demonstrasi beberapa tahun terakhir.

Kembali ke Nepal, dari jalanan Kathmandu, protes ini menelan korban jiwa, memaksa pejabat tinggi mundur, hingga mendorong pemerintah mencabut pembatasan internet.

Dilansir dari The Guardian, generasi muda Nepal menyebut aksi ini sebagai “revolusi mereka sendiri”, tanda bahwa giliran mereka kini tiba untuk bicara lantang.

Dalam lima tahun terakhir, deretan demonstrasi besar di berbagai belahan dunia memperlihatkan wajah serupa, Gen Z berada di garis depan.

Aksi Gen Z di Berbagai Negara

Di Iran, protes atas kematian Mahsa Amini pada 2022 dengan cepat berubah menjadi gelombang menuntut kebebasan perempuan, dengan mahasiswa dan perempuan muda sebagai motor utama.

Di Amerika Serikat, Black Lives Matter (2020) mendapat tenaga tambahan dari remaja dan mahasiswa Gen Z, yang memanfaatkan TikTok dan Twitter untuk mengorganisir massa.

Sementara itu, di Hong Kong, gerakan menolak RUU ekstradisi pada 2019-2020 juga bertumpu pada energi pelajar dan mahasiswa muda.

Aksi serupa terlihat dalam gerakan iklim global Fridays for Future, di mana Greta Thunberg dan jutaan anak muda mendorong politisi dunia bertindak lebih tegas melawan krisis iklim.

Berbeda konteks, namun polanya sama, generasi muda mampu mengubah isu yang tampak kecil menjadi gelombang besar dengan kecepatan luar biasa.

Teknologi digital menjadi bahan bakar utama. Aplikasi pesan instan, video pendek, hingga hashtag global menjadikan koordinasi jauh lebih cepat daripada era protes sebelumnya.

Kasus Nepal bahkan memperlihatkan bahwa upaya pemerintah mematikan media sosial justru memperkuat solidaritas anak muda.

Di sisi lain, akar kemarahan Gen Z sering kali berpangkal pada masalah struktural pengangguran tinggi, korupsi, hingga ketidakadilan sosial.

Mereka menilai generasi lama gagal memperbaiki keadaan, bahkan kerap terjebak dalam lingkaran nepotisme dan politik dinasti.

Karena itulah, tuntutan yang muncul biasanya lebih radikal, perubahan rezim, kebijakan inklusif, atau revolusi sosial.

Seperti yang ditulis Financial Times, di Nepal, kemarahan anak muda bukan hanya pada satu kebijakan, tetapi pada sistem yang mereka anggap telah merampas masa depan mereka.

Tidak kalah penting, Gen Z mahir memainkan dua arena sekaligus dunia maya dan jalanan.

Di Hong Kong, mereka mempraktikkan “be water”, bergerak cair untuk menghindari represi polisi. Di Iran, mereka mengandalkan VPN dan media sosial diaspora untuk menjaga narasi tetap hidup meski internet diblokir.

Di Amerika, Gen Z memadukan aksi jalanan dengan kampanye daring yang menekan korporasi dan politisi. Strategi ganda inilah yang membuat gerakan mereka sulit dipadamkan. (*)

Advertisement