Masih Adakah Tokoh Panutan bagi Anak Muda NU?

0
FOTO: Makmur Idrus sesepuh GP Ansor Makassar, Sulawesi Selatan.
FOTO: Makmur Idrus sesepuh GP Ansor Makassar, Sulawesi Selatan.

Oleh: Drs H. Makmur Idrus

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Di tengah zaman yang penuh hiruk-pikuk, ketika nilai-nilai hidup seringkali dikaburkan oleh tren sesaat dan budaya instan, muncul pertanyaan kritis yang patut kita renungkan bersama: Masih adakah tokoh panutan bagi anak muda NU hari ini?

Ini bukan sekadar pertanyaan tentang eksistensi figur, melainkan tentang bagaimana generasi muda NU menempatkan keteladanan dalam kehidupan mereka yang kini dikelilingi oleh dunia serba digital dan cepat berubah.

Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tidak pernah kekurangan tokoh karismatik dan bijak.

Advertisement

Namun, pada era ketika perhatian anak muda lebih banyak tercurah pada layar ponsel, ketika popularitas ditentukan oleh jumlah pengikut dan bukan kedalaman ilmu, para tokoh panutan yang sesungguhnya kerap tenggelam dalam senyap.

Anak muda hari ini lebih mudah mengenali selebgram hijrah daripada mengenal biografi KH. Hasyim Asy’ari atau memahami gagasan besar Gus Dur.

Namun demikian, kita tidak boleh pesimis. Keteladanan itu masih hidup. Ia hanya perlu dijemput kembali, disuarakan ulang, dan dibungkus dengan pendekatan yang bisa menyentuh relung jiwa muda.

Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali para tokoh panutan yang didengar dan diteladani oleh generasi muda NU, bukan hanya karena nama besar mereka, tetapi karena mereka menghidupkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dalam laku hidup nyata.

Mari kita sejenak menoleh ke Sulawesi Selatan, sebuah wilayah dengan sejarah panjang dalam menghidupkan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan melahirkan banyak ulama besar NU.

Di antara tokoh-tokoh besar yang masih membekas dalam memori kolektif warga NU Sulsel, kita menemukan sosok seperti Syech KH. Jamaluddin Assegaf atau akrab dikenal sebagai Puang Ramma, seorang ulama karismatik pendiri NU di Sulsel yang hidup zuhud dan penuh kewibawaan.

Figur beliau tidak hanya dihormati karena garis nasab dan keilmuannya, tetapi juga karena kearifan sosialnya yang mampu merangkul berbagai kalangan. Kalimatnya sejuk, petuahnya menenangkan, dan akhlaknya menyatukan.

Ada pula KH. Muh. Nur, ulama kharismatik yang menjadi poros keulamaan di Sulsel dan ikut mengawal konsistensi NU di berbagai lini. Sosoknya bersahaja, jauh dari sorotan media, namun selalu hadir sebagai penenang dalam riuhnya zaman. Ia menjadi panutan bukan karena pencitraan, tetapi karena keistiqomahan.

Dan tentu, siapa yang tak kenal dengan KH. Sanusi Baco, salah satu ulama paling dihormati di Sulawesi Selatan. Dengan gaya ceramahnya yang lembut tapi penuh makna, beliau telah menyentuh ribuan hati umat, dari masjid-masjid kampung hingga ruang elite kekuasaan.

KH. Sanusi Baco adalah contoh nyata bagaimana ulama bisa menjadi jembatan antara nilai dan realitas, antara langit dan bumi.

Petuahnya yang terkenal, “Agama itu sejuk. Kalau kamu merasa panas, mungkin kamu belum benar memeluknya,” telah menjadi pegangan banyak santri dan aktivis muda.

Serta tokoh Ulama NU lainnya H. Hafid Yusuf, Drs. KH. Abdurrahman K, Drs. KH. Abdurahman (Bola Dunia), Prof. Dr. H. A. Rahman Idrus, Prof. Dr. KH. Iskandar Idy, KH. Harisah AS, mereka inilah mengurus dan membangun NU tanpa “Pamrih”, serta KH. M. Thahir Syarkawi, berdomisili di Pinrang mengurus pondoknya, Prof. Dr. KH. Kadir Ahmad, dan Dr. KH. Zein Irwanto, mereka Ketiganya inilah yang masih tersisa…(Hidup)
Tokoh-tokoh seperti inilah yang seharusnya diperkenalkan, disuarakan, dan dihidupkan ulang dalam ruang diskusi anak muda NU hari ini.

Mereka bukan hanya pewaris ilmu dan sanad, tapi juga simbol bahwa Islam Nusantara — khas NU — adalah wajah Islam yang ramah, santun, toleran, dan penuh kasih.

Namun, keteladanan saja tidak cukup jika tidak diakses dan dihadirkan dalam ruang-ruang yang bisa dijangkau generasi muda. Kita butuh narasi baru, pendekatan baru.

Mungkin sudah saatnya cerita-cerita tentang Puang Ramma, KH. Sanusi Baco, dan para ulama lokal lainnya di daerah dijadikan konten serial pendek di YouTube, podcast santri, atau potongan dakwah TikTok yang inspiratif. Tokoh panutan tidak harus berdiri di atas mimbar besar; ia bisa hadir lewat layar kecil, asalkan nilai dan akhlaknya tetap utuh.

Lebih jauh lagi, tantangan anak muda NU bukan hanya pada mencari panutan, tapi pada keberanian untuk menjadi panutan di tengah masyarakat.

Artinya, mereka tidak cukup hanya mengidolakan Gus Dur, Gus Mus, atau KH. Sanusi Baco, tapi juga menjadikan nilai-nilai para tokoh itu sebagai pedoman dalam bersikap, berkarya, dan bergerak. Keteladanan itu harus ditiru dan diperjuangkan, bukan hanya dikenang.

Dalam konteks GP Ansor dan Banser, misalnya, _nilai kepeloporan, keberanian, dan kesetiaan terhadap ulama_ dan bangsa yang diwariskan oleh para tokoh NU Sulsel harus menjadi roh dalam setiap gerakan kader.

Jangan sampai GP Ansor hanya menjadi organisasi formalitas tanpa denyut nilai. Tokoh panutan itu hidup dalam semangat pengabdian, bukan sekadar simbol dan jargon.

Sebagai penutup, kita semua — para aktivis muda, santri, pengurus, dan warga NU — punya tanggung jawab besar untuk menyambung mata rantai keteladanan ini.

Di tengah gempuran zaman yang menggoda, mari kita jawab pertanyaan itu dengan keyakinan:
“Ya, tokoh panutan itu masih ada. Mereka ada di sekitar kita. Dan kita pun bisa menjadi seperti mereka — jika mau berjalan di jalan yang mereka tapaki.

Advertisement