LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasembada pangan dan Transmigrasi dari perspektif kebangsaan menjadi Tema Diskusi di Kota Makassar
Kolaborasi Front Mahasiswa Timur Indonesia (FMTI) dan Literasi Anak Maluku (LAM) kembali mengadakan Diskusi Publik menyikapi ramainya rencana Proyek Strategic Nasional diantaranya Swasembada Pangan, begitu juga program Transmigrasi di Papua dengan berbagai tanggapan maupun penolakan dari sebagian warga dan tokoh di daerah.
Negara Indonesia adalah negara besar dan memiliki jumlah penduduk terbanyak urutan ke 4 di dunia kurang lebih 280an juta lebih dan negara yang terkenal dengan tanahnya yang subur dan negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kesejahteraan umum dan kelangsungan hidup warga negaranya, langkah pemerintah untuk melakukan program pemerataan penduduk baik lewat transmigrasi nasional maupun transmigrasi lokal guna meningkatkan kualitas hidup dengan berbagai pertimbangannya, disamping swasembada pangan untuk ketahanan pangan Nasional juga sangat penting dengan tidak hanya mengandalkan bahan import terutama beras tutur Rachma Shofa dari kampus UMI selaku Pemantik pada pembukaan acara diskusi.
Perwakilan dari berbagai Orda kemahasiswaan turut serta, dengan menghadirkan perwakilannya al; HMI, FLOBAMORA, HMMBD, HIPMIN, KPM, PMKKA, Aspuri Maluku, HIPMI MAL RAYA, IPMM dan perwakilan Ormas GBNN Sulawesi Selatan.
Penyampaian oleh Andi Isyad Kasubdit Penyuluhan Dinas Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) Transmigrasi sebagai pembicara pertama, dimulai sejak tahun 1968 di berbagai wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Program Transmigrasi bisa memajukan ekonomi, dan mengenal budaya yang ada di Indonesia, memang adanya penolakan pro dan Kontra terhadap program transmigrasi kerena di lihat dari sudut pandang masing – masing individu.
Transmigrasi di Papua adalah program revitalisasi kawasan transmigrasi yang sudah ada dengan memanfaatkan masyarakat sekitar dan kawasan daerah transmigrasi.
Speaker ke 2 Teobaldus Hemma Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi mantan ketua PMKRI Makassar mengatakan, Program transmigrasi di Papua terlalu di paksakan kerena negara memandang dari sudut ekonomi dan kepentingan politik tanpa memperhatikan masyarakat sekitar daerah yang dijadikan kawasan PSN.
Dari sosiologi dampak negatif adanya transmigrasi dimana Papua adalah menjunjung tinggi adat kedepannya berdampak terhadap konflik adat kerena adan pemindahan penduduk yang berbeda adatnya.
Berharap kepada rekan – rekan mahasiswa Papua harus membuat kajian dampak dijadikan daerah Papua di jadikan daerah PSN.
Dilanjutkan Speaker Ke 3 Damianus Mudra Werre selaku Ketua FMTI asal Merauke, dengan mengusung Tema ini cukup menarik dan hangat dengan perkembangan sekarang ini terutama di wilayah Papua.
Masih perlu adanya edukasi dan pelibatan masyarakat khususnya dari OAP agar tidak terjadi ketimpangan Pemerintah terus menggenjot pembangunan Papua dari segi pembagunan Food estate dalam rangka ketahanan pangan nasional diharapkan dapat memberi faedah positif secara berkelanjutan dan benar – benar menyentuh masyarakat akar rumput dari OAP dengan tidak menimbulkan gesekan dan benturan terhadap adat dan budaya setempat
Tampil selaku Speaker terakhir Juliana Novly Ratuanik, Mahasiswa UNHAS dari Literaai Anak Maluku (LAM) selaku Speaker terakhir, sebenarnya bukan Papua saja yang pembangunan dan proyek – proyek datang tanpa melibatkan masyarakat pribumi di wilayah Maluku banyak Investor datang awalnya terjadi penolakan dan hal itu menjadi konflik memang butuh waktu untuk sosialisasi terhadap masyarakat. Kita harus memandang dari segi positif terhadap program pemerintah, tujuan pembagunan PSN untuk pemerataan pembangunan nasional.
Kami memberi apresiasi baik kepada para peserta yang penuh antusias dan ketiga Speaker dalam Diskusi ini, sehingga berjalan baik dan menarik dengan berbagai pendapat dan sudut pandang yang logis dan bernilai menjadi penting bagi kita dalam memandang Program Strategis Nasional Swasembada Pangan dan program Transmigrasi secara arif dan bijak dengan tidak menyampingkan hak – hak masyarakat lokal atau adat setempat,” tutup Johanis Rutuameti selaku Panitia acara. (*)