LIPI: Evaluasi Total UU Otsus, Libatkan Masyarakat adat MRP, DPRP, Gereja dan Perempuan

Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas,

JAKARTA||Legion-news.com Revisi UU Otsus Papua mendapat tanggapan dari Peneliti dari LIPI, Cahyo Pamungkas, mengatakan tujuan utama dari dibentuknya UU Otsus Papua adalah untuk memanusiakan, meng-Indonesia-kan orang Papua, dan memperlakukan mereka lebih baik dibandingkan masa lalu yang dipenuhi kekerasan.

“Otsus itu tujuannya agar orang Papua bisa menikmati pembangunan, rekonsiliasi masa lalu, seperti kekerasan politik, dan pelanggaran HAM, memanusiakan mereka sehingga menyatu dengan Indonesia. Tapi ini semua tidak dibahas, yang muncul hanya masalah uang saja,” kata Cahyo. Selasa (30/3)

Cahyo menjelaskan, UU Otsus disahkan pada tahun 2001 setelah sebelumnya pada pasca-reformasi 1998 terjadi pergejolakan politik dan konflik berdarah di mana masyarakat Papua menuntut kemerdekaan.

Karena tidak mungkin memenuhi tuntutan itu, pemerintah memberikan otonomi khusus sebagai jalan tengah.

Advertisement

Namun kenyatannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran.

“Padahal terdapat empat persoalan utama. Pertama, perspektif Otsus yang pelaksanannya tumpang tindih dengan UU sektoral. Kedua, tata kelola yang tidak sesuai. Ketiga, kekerasan masih berlanjut, bahkan semakin meningkat saat Otsus diberlakukan, seperti di Intan Jaya, Nduga. Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua,” katanya.

Terakhir, adalah indeks pembangunan manusia orang asli Papua yang lebih rendah dibandingkan pendatang.

Sehingga, menurut Cahyo, seberapa pun dana Otsus dinaikkan, bahkan hingga 10 kali lipat, tidak akan membawa manfaat dan perubahan bagi orang asli Papua.

“Jika pembangunan tidak mendengarkan, melibatkan aspirasi, dan memperkuat identitas masyarakat Papua, serta menjaga kelestarian ekologi,” ujarnya.

“Ini adalah momen tepat untuk melakukan evaluasi total UU Otsus yang melibatkan komponen masyarakat adat, MRP, DPRP, gereja dan perempuan. Sehingga revisi UU ini memiliki legitimasi yang kuat dari bawah,” tutupnya.

Advertisement