LASKAR Sulsel: Pernyataan Rusdi Masse Soal RUU Perampasan Aset Cermin Lemahnya Keseriusan DPR

0
FOTO: Rusdi Masse, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Properti via rastranews.com)
FOTO: Rusdi Masse, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Properti via rastranews.com)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Ketua Harian Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat (LASKAR) Sulawesi Selatan, Ilyas Maulana, SH, menyoroti pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Rusdi Masse (RMS), yang mengaku belum mengetahui detail Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Menurut Ilyas, pernyataan itu mencerminkan lemahnya keseriusan DPR dalam membahas regulasi strategis yang menyangkut kepentingan negara dan hak-hak rakyat.

“RUU Perampasan Aset ini bukan wacana baru, melainkan sudah lama didorong publik karena dianggap penting untuk pemberantasan korupsi. Jika pimpinan Komisi III justru mengaku belum tahu detailnya, itu menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana komitmen DPR menjalankan mandat rakyat?” tegas Ilyas, Minggu (14/9).

Ilyas menilai keterusterangan RMS memang patut diapresiasi, namun hal itu sekaligus membuka tabir lemahnya komunikasi internal di DPR.

Seharusnya, kata dia, setiap pimpinan komisi yang baru menjabat langsung dibekali pemahaman utuh tentang regulasi prioritas, apalagi RUU yang sarat dimensi politik hukum dan berimplikasi langsung terhadap perlindungan hak warga negara.

“RUU ini menyentuh prinsip dasar hukum seperti praduga tak bersalah, hak kepemilikan, dan mekanisme beban pembuktian. Kalau pimpinan saja belum menguasai substansi, bagaimana publik bisa yakin DPR serius? Jangan sampai RUU hanya jadi simbol politik untuk meredam kritik,” ujarnya tajam.

LASKAR Sulsel, lanjut Ilyas, mendesak RMS bersama Komisi III DPR RI segera membuka naskah akademik dan draf RUU terbaru kepada publik. Transparansi ini dinilai penting agar masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi advokasi bisa memberi masukan substansial sebelum RUU disahkan.

“LASKAR mendukung penuh hadirnya regulasi yang memperkuat pemberantasan korupsi. Tapi kami menolak keras jika pembahasan dilakukan setengah hati, tertutup, dan berpotensi melanggar hak asasi. DPR harus buktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat, bukan untuk sekadar pencitraan politik,” tutup Ilyas. (*)

Advertisement