Langgar PP No. 54 Tahun 2017: Saksi Ahli Sebut Danny Pomanto tidak Berhak Menerima Asuransi

FOTO: Moh. Ramdhan Pomanto Wali kota Makassar saat hadir sebagai Saksi dalam kasus korupsi di PDAM Makassar periode 2015 - 2019 di Pengadilan Tipikor Makassar. Kamis (22/6/2023)
FOTO: Moh. Ramdhan Pomanto Wali kota Makassar saat hadir sebagai Saksi dalam kasus korupsi di PDAM Makassar periode 2015 - 2019 di Pengadilan Tipikor Makassar. Kamis (22/6/2023)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Juajir Sumardi, Dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

JPU menghadirkan Sumardi untuk memberikan keterangannya sebagai ahli di bidang hukum.

Jaksa meminta Saksi Ahli untuk menjelaskan perbedaan antara Perusahaan Umum Daerah (Perumda) dan Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Didalam ruang sidang Harifin Tumpa, Pengadilan Tipikor Makassar, Senin (26/6/2023) Penuntut umum mempersilahkan Saksi Ahli untuk menyampaikan keahliannya mengenai perbedaan Perumda dan Perseroda.

Advertisement

Dari dalam keterangannya, Juajir Sumardi menyebutkan bahwa Walikota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto tidak berhak menerima dana asuransi Dwiguna jabatan dari PDAM Makassar.

Pernyataan ahli itu disampaikan setelah mendapat pertanyaan JPU Kejati Sulsel.

“Dalam PP No. 54 tahun 2017 itu terkait dengan 2 BUMD yakni Perumda dan Perseroda,” ujar Sumardi. Senin (26/6/2023).

“Nah, terkait dengan itu, dapatkah saudara jelaskan apa perbedaan antara Perumda dan Perseroda?,” tanya penuntut umum kembali.

Saksi Ahli pun menjelaskan bahwa dua jenis BUMD tersebut yang diatur dalam PP Nomor 54 Tahun 2017.

“Kalau organ Perumda itu terdiri dari KPM (Kuasa Pemilik Modal) dalam hal ini Kepala Daerah, Kemudian ada Dewan Pengawas dan Direksi,” tutur Ahli.

“Sedangkan untuk Perseroda organnya adalah rapat umum pemegang saham, komisaris dan direksi,” tambah pengajar di Fakultas Hukum Unhas ini.

Usai mendengar penjelasan Ahli, Jaksa lalu kemudian menyinggung Perda Nomor 6 Tahun 1974 yang digunakan sebagai dasar pembagian laba tahun berjalan di PDAM Makassar.

Jaksa mempertanyakan, apakah Perda Nomor 6 itu sudah tidak lagi bisa digunakan.

“Terkait dengan Perda Nomor 6 Tahun 1974 dan PP 54, PP ini digunakan pada tanggal 27 Desember 2017. Apakah dengan menggunakan PP 54 Tahun 2017 serta merta (yang) melibatkan perda sebelumnya tidak berlaku lagi?” tanya Jaksa.

Ahli pun dengan tegas tidak membenarkan hal tersebut.

Saksi Ahli mengatakan, Perda Nomor 6 Tahun 1974 masih berlaku asalkan tidak bertentangan dengan PP Nomor 54 Tahun 2017.

“Tidak, karena sebetulnya ketidakberlakuan harus dicabut. Di dalam PP 54 tahun 2017 itu di pasal 140 itu jelas mengatakan bahwa ketentuan yang mengatur Perusahaan Perseroan Daerah, Perusahaan Umum Daerah masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang berlaku di dalam PP 54 tahun 2017,” jelasnya.

“Oleh karena itu, maka peraturan daerah tahun 1974 itu masih berlaku, kecuali untuk pasal-pasal tertentu yang substansinya tidak sesuai dan bertentangan dengan apa yang diatur dalam PP 54,” lanjut Juajir.

Namun dirinya menjelaskan lebih lanjut, apabila terjadi perbedaan aturan di dalam Perda 6 Tahun 1974 dengan PP Nomor 54 Tahun 2017, maka pemerintah harus berpegang pada PP Nomor 54 Tahun 2017.

“Kalau terjadi perbedaan antara apa yang diatur dalam Perda 6 dengan PP 54 tahun 2017, maka dalam Perda yang berlaku adalah apa yang diatur dalam PP Nomor 54 tahun 2017,” terang Juajir.

Jaksa lalu menanyakan hak Walikota Makassar selaku kuasa pemilik modal (KPM) apakah dapat menerima asuransi jika merujuk pada aturan yang digunakan yakni PP Nomor 54 Tahun 2017.

“Dengan adanya perbedaan seperti itu, apakah Walikota selaku KPM dapat menerima semacam asuransi atau insentif?,” cecar Jaksa lagi.

Juajir kembali menjelaskan, bahwa Walikota Makassar sebagai KPM tidak berhak menerima asuransi karena Walikota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto tidak termasuk dalam organ PDAM Makassar.

“Kalau kita merujuk pada PP 54 Tahun 2017, kepala daerah posisinya sebagai KPM. Sedangkan yang diatur dalam PP ini yang berhak mendapatkan itu hanya dewan pengawas, direksi dan karyawan. Sedangkan kepala daerah dalam kapasitas BKPM itu tidak berhak mendapatkan, dia bukan karyawan, bukan dewan pengawas,” jawab Juajir dengan tegas. (*/detik)

Advertisement