Korban Penipuan Hanya di Dampingi JPU, Yusuf Purwantoro Terbukti Melakukan Tindak Pidana Penggelapan dan Serta Penipuan

MAKASSAR, Legion News – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan sebanyak Rp1 miliar telah memasuki tahap putusan akhir Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Kasus dugaan penipuan dan penggelapan sebanyak Rp1 miliar ini dengan mendudukkan terdakwa IPTU Yusuf Purwantoro oknum Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, dan korban A. Wijaya.

Perjalanan panjang perkara kasus penipuan yang menghabis waktu, pikiran dan tenaga, ujar Andi Wijaya. Alhamdulillah saya masih mendapatkan keadilan disana (red.Pengadilan Negeri) Makassar, atas putusan hakim yang di pimpin oleh Majelis Hakim Ketua Zulkifli.

Disisi lainnya A.Wijaya mengharapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat mengikuti perintah putusan majelis hakim untuk terdakwa segera di Tahan atas perbuatanya melawan hukum, tegas jaya.

Advertisement

Selama masa persidangan berlangsung A. Wijaya tanpa di dampingi penasehat hukum, hal ini disampaikannya saat dihubungi awak media Legion news.com, “ia saya selama bersidang tidak didamping penasehat hukum, saya percayakan penuh kepada Jaksa Penuntun Umum (JPU), untuk menuntut hak rasa keadilan saya sebagai warga negara Indonesia yang sama di muka umum, diakan (IPTU Yusuf Purwantoro) seorang aparat penegak hukum, harusnya memberikan contoh yang baik kepada saya selaku rakyat kecil, ungkap jaya.

Berikut rangkain proses putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar

Makassar, Kamis (9/7/2020) Pengadilan Negeri (PN) Makassar, mengelar perkara keputusan Pengadilan Negeri Makassar atas perkara kasus dugaan penipuan dan penggelapan sebanyak Rp1 miliar dengan mendudukkan di kursi pesakitan Terdakwa IPTU Yusuf Purwantoro dihadapan Majelis Hakim Ketua Pengadilan Negeri Makassar.

“Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar pasal 372, pasal 378 KHUP dan dijatuhkan hukuman badan selama 2 tahun 6 bulan, dipotong masa tahanan,” kata Hakim Ketua Zulkifli membacakan sidang vonis.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan mengatakan, pada intinya majelis bersepakat dengan JPU dengan tuntunan pasal 378 KHUP pidana, walaupun majelis pada akhirnya tida

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan mengatakan, pada intinya majelis bersepakat dengan JPU dengan tuntunan pasal 378 KHUP pidana, walaupun majelis pada akhirnya tidak sepakat dengan tuntutan JPU.

“Majelis sepakat dengan pasal yang diterapkan, tapi tidak sepakat dengan hukuman badan sebanyak 3 tahun 10 bulan dari JPU. Dan menjatuhkan 2 tahun 6 bulan,” ungkapnya.

Atas dasar itu, JPU masih akan berkoordinasi dengan pimpinan terkait apakah JPU akan melakukan banding atau tidak.

Tak hanya itu, Ridwan juga mengatakan, melihat putusan tersebut, pihaknya juga sesegera mungkin akan melakukan eksekusi, hanya saja, dirinya belum tahu pasti apakah akan dikirim ke Rutan atau Lapas.

Hanya saja, saat ditanyai terkait potongan masa tahanan, Ridwan mengaku belum mengetahui pasti dan harus merekap ulang masa tahanan terdakwa. Pasalnya melihat status tahanan IPTU Yusuf, kata Ridwan sejak awal dikenakan tahanan Kota dan bukan tahanan rutan, sehingga hitungan pemotongan masa tahanannya sedikit berbeda.

“Dia kan sejak awal menjadi tahanan kota, hitungannya itu 5 hari tahanan kota sama dengan 1 hari tahanan badan, jadi nanti saya kabari lagi, untuk masa pemotongannya berapa, saya tidak ingat bulan berapa Dia ditetapkan tahanan kota, yang jelas sejak awal dia tahanan kota,” ungkapnya.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Saputra memberikan tuntutan 3 tahun 10 bulan terdakwa IPTU Yusuf Purwantoro dalam perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp1 miliar pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (22/4/2020).

Tuntutan JPU Ridwan Saputra dibacakan langsung di hadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli terhadap mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.

“Terdakwa kita tuntut maksimal sesuai dengan Pasal 378 KUHP yakni 3 tahun 10 bulan penjara,” kata JPU Ridwan Saputra.

Tak hanya tuntutan pidana maksimal, JPU juga menuntut agar eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu segera ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Makassar.

“Tadi dalam tuntutan kita juga minta ke Majelis Hakim agar terdakwa dimasukkan dalam sel tahanan Rutan Makassar,” jelas Ridwan.

Tuntutan maksimal, kata dia, melalui pertimbangan yang ada. Dimana terdakwa tak ada itikad baik untuk mengembalikan sepeser pun uang yang dipinjam dari korbannya.

Meski demikian, perbuatan meringankan terdakwa juga tetap masuk dalam pertimbangan pemberian tuntutan. Dimana terdakwa proaktif hadir selama persidangan berlangsung.

“Untuk agenda pembacaan pledoi (pembelaan) terdakwa itu nanti tanggal 13 Mei 2020,” ujar Ridwan.

Terpisah, Ketua DPP APAK Sulsel (Aliansi Peduli Anti Korupsi Sulawesi Selatan), Mastan dimintai tanggapannya mengakui cukup mengapresiasi kinerja JPU yang akhirnya memberikan tuntutan maksimal kepada eks Bendahara Brimob Polda Sulsel dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan tersebut.

“Sejak awal memang seharusnya Jaksa memberikan penuntutan yang berat sifatnya kepada terdakwa, sehingga nantinya oleh Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman yang berat pula kepada terdakwa,” kata Mastan via telepon.

Tuntutan hingga penjatuhan vonis berat nantinya, lanjut Mastan, itu cukup beralasan karena dana milik korban Rp1 miliar yang diambil oleh terdakwa jika dilihat dari sisi kualitas nilai ekonomi memang sangat besar sekali.

Apalagi, kata Mastan, terdakwa sama sekali tidak pernah mengembalikan uang milik korban dan juga dalam memberikan keterangan, terdakwa terkesan menyembunyikan fakta sebenarnya dari modus penipuan yang dilakukannya alias berbohong dipersidangan.

“Tuntutan Jaksa 3 tahun 10 bulan penjara disertai perintah masuk itu telah menunjukan bahwa proses penegakan hukum dalam persidangan sangat tersentuh rasa keadilan bagi korban dalam pengamatan kami LSM APAK Sulsel,” ungkap Mastan.

Ia berharap Majelis Hakim nantinya juga dapat mempertahankan putusan atau vonis yang diambilnya demi untuk penegakan hukum yang berkeadilan kepada korban yang merupakan masyarakat kecil tersebut.

“Kita tentu berharap Majelis Hakim juga nantinya bersikap yang sama seperti Jaksa agar penegakan hukum betul-betul memberikan rasa keadilan bagi korban yang dizalimi oleh terdakwa yang diketahui berstatus anggota Polri itu,” pungkasnya.

Sebelumnya, sidang lanjutan perkara dugaan pidana penipuan dan penggelapan yang mendudukkan mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel, IPTU Yusuf sebagai terdakwa kembali digelar di Ruang Sidang Kusuma Atmadja, Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (8/4/2020).

Pada sidang agenda pemeriksaan terdakwa tersebut, sejumlah fakta baru kembali terungkap dengan terang benderang.

Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli dan dua Hakim anggota yakni Heyneng dan Suratno, terdakwa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diutarakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra yang mengarah kepada pembuktian adanya unsur pasal yang didakwakan utamanya terkait pasal 378 KUHPidana tentang penipuan.

Diantaranya saat JPU menanyakan tujuan terdakwa meminta bantuan kepada korban, A Wijaya agar dipinjamkan uang senilai Rp1 miliar saat itu. Sebagaimana kata JPU, dari keterangan saksi-saksi sebelumnya dan bukti obrolan via whatsapp antara terdakwa dan korban dengan jelas menyatakan bahwa terdakwa meminta bantuan korban agar dipinjamkan uang guna keperluan pembayaran tunggakan uang tunjangan kinerja (tukin) atau untuk keperluan internal Brimob Polda Sulsel yang mendekat itu akan jatuh tempo.

“Itu tidak benar. Kalau memang itu ada silahkan tunjukkan bukti tertulis karena soal pembayaran tukin di internal kepolisian seluruh Indonesia itu dibayarkan 11 Mei sementara pinjaman saya terjadi 27 Mei 2018,” kata Yusuf menjawab pertanyaan JPU.

Ia mengatakan peminjaman uang kepada korban untuk keperluan mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto.

“Pak Kombes Pol Totok meminta bantuan pinjaman uang. Saya lalu pinjam ke A. Wijaya karena Kombes Totok itu selain mantan pimpinan juga kami sangat akrab,” terang Yusuf.

Namun setelah JPU memperlihatkan bukti obrolan via whatsapp antara terdakwa dengan korban terkait tujuan peminjaman uang oleh terdakwa dihadapan Majelis Hakim, terdakwa tampak diam tak bisa mengelak.

Pertanyaan selanjutnya oleh JPU terkait pembuktian adanya unsur rentetan kebohongan sebagaimana dalam pasal 378 KUHPidana, dimana saat JPU menanyakan kebenaran alasan lain terdakwa kepada korban jika ia belum bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya sesuai yang dijanjikan tepatnya tanggal 1 Juni 2018, karena setelah dari KPPN II Makassar sekaligus nego terkait aturannya dana belanja pegawai dibayarkan di hari kerja bulan berjalan, ternyata dana masuk di rekening bendahara nanti Senin tanggal 4 Juni karena Jumat sampai Minggu KPPN libur.

“Itu tidak benar. Tidak ada kaitannya dengan KPPN. Percakapan saya ke korban saat itu bahwa saya coba nego dengan rekanan,” kilah Yusuf.

Adapun pegawai yang dimaksud dalam obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp, kata terdakwa, menjawab pertanyaan Majelis Hakim, itu yang dimaksud adalah pegawai Brimob Polda Sulsel.

Terdakwa kemudian tak berkutik saat JPU memperlihatkan bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp didepan Majelis Hakim bahwa terdakwa memang pernah mengatakan ke korban via whatsapp jika kendala pengembalian uang korban karena KPPN tidak bisa memproses kepentingan terdakwa.

Tak hanya mengungkap adanya unsur rentetan kebohongan dalam perkara pidana yang menjerat perwira berpangkat Iptu di Satuan Brimob Polda Sulsel itu, fakta keterlibatan pihak lain dalam skandal ‘penipuan’ yang menyeret eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu juga perlahan terkuak.

Sejak awal sidang agenda pemeriksaan terdakwa berjalan, terdakwa terus menyebut nama mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto.

Uang yang dipinjam dari korban A. Wijaya, terdakwa sebut diberikan ke mantan atasannya itu. Meski kepada korbannya, terdakwa sebelumnya beralasan jika tujuan meminjam uang ke korban guna kebutuhan menutupi tunggakan uang tukin personil atau kepentingan internal Brimob Polda Sulsel sebagaimana keterangan saksi-saksi dihadapan persidangan sebelumnya serta bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp yang telah dijadikan alat bukti oleh JPU.

Saat korban memberikan uang senilai Rp1 miliar sesuai permintaan terdakwa, uang itu lalu diberikan kepada Totok untuk kemudian digunakan berbisnis tanah.

“Setelah uang ditransfer, saya lalu berikan ke Kombes Pol Totok. Memang sejak awal dia sering meminta tolong. Dia mantan atasan kami dan sangat akrab dengan kami,” ungkap Yusuf menanggapi pertanyaan Majelis Hakim yang turut mempertanyakan kemana rimbanya uang yang didapatkan terdakwa dari korban.

Meski sejak awal terdakwa kerap menjelaskan keterlibatan Totok hingga mengaku bahwa uang yang dipinjam dari korban telah diberikan ke mantan atasannya itu, terdakwa tampak memasang badan jika semua kesalahan yang terjadi akibat perbuatannya sendiri.

“Kesalahan ini perbuatan saya Majelis,” jawab Yusuf menanggapi pertanyaan Majelis Hakim tentang siapa yang punya perbuatan sehingga menimbulkan kerugian bagi korban.

Setelah agenda sidang pemeriksaan terdakwa usai dilaksanakan, Majelis Hakim lalu menutup persidangan dan mengagendakan ulang tahapan sidang berikutnya dua pekan mendatang.

“Pembacaan tuntutan nanti tanggal 22 April 2019 yah. Ok sidang kita tutup dengan resmi dan akan dibuka kembali pada dua pekan mendatang,” ucap Zulkifli, Ketua Majelis Hakim perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan yang mendudukkan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro di kursi pesakitan saat menutup sidang.

Diketahui, dalam perkara dugaan pidana penipuan bernomor 115/Pid.B/2020/PN Mks, Jaksa Penuntut Umum mendakwa mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel, IPTU Yusuf Purwantoro dengan ancaman dakwaan primer Pasal 378 KUHPidana yang ancaman pidananya maksimal 4 tahun penjara.

Polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu terjerat perkara dugaan penipuan saat ia menemui korbannya, A. Wijaya di Kabupaten Sidrap untuk meminta tolong dipinjamkan uang sebesar Rp1 miliar dengan alasan ingin membayar uang tunjangan kinerja (tukin) seluruh personil Brimob Polda Sulsel yang sebelumnya telah ia gunakan guna kebutuhan lain.

Karena mengingat terdakwa merupakan kawan sekolahnya dulu, korban pun memberikan bantuan dana sesuai yang diminta oleh terdakwa melalui via transfer.

Namun belakangan uang yang dipinjam tersebut, tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa hingga batas tempo yang dijanjikan. Terdakwa malah belakangan terus menghindar dengan memutuskan komunikasi dengan terdakwa.

“Itikad baiknya hingga saat ini memang sudah tak ada,” kata korban, A. Wijaya.

Atas perbuatan terdakwa, selain menanggung kerugian besar, korban juga malu dengan keluarganya khususnya tantenya yang meminjamkan uang kepadanya.

“Uang yang saya berikan ke terdakwa itu uangnya tante dari hasil gadai sertifikat rumah di Bank. Jadi karena perbuatan terdakwa, saya harus menanggung beban membayar uang Bank,” terang Wijaya.

Ia berharap Majelis Hakim nantinya bisa menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal agar kedepannya, terdakwa tak lagi mengulangi perbuatannya.

“Saya hanya minta keadilan kepada Majelis Hakim nanti agar terdakwa yang nota bene seorang penegak hukum bisa diganjar dengan hukuman berat karena dia telah menipu kami masyarakat kecil begini. Jaksa juga saya harapkan berikan tuntutan maksimal karena dalam fakta sidang unsur perbuatan pidana yang dituduhkan ke terdakwa itu sudah terpenuhi sempurna,” ungkap Wijaya

Selain pengakuan beberapa saksi tentang adanya peminjaman uang yang dilakukan terdakwa kepada korban senilai Rp1 miliar itu terungkap di dalam persidangan, juga adanya dukungan alat bukti lainnya berupa bukti transferan uang hingga salinan percakapan via pesan singkat terkait peminjaman uang oleh terdakwa ke korban yang dihadirkan JPU ke persidangan sebelumnya.

“Kami harap sekali lagi agar Majelis Hakim beri hukuman maksimal kepada terdakwa sebagaimana perbuatan terdakwa terbukti jelas dalam persidangan,” pungkasnya. (*)

Advertisement