Komisi XI Nilai Stabilitas Keuangan di Sulsel Masih Terjaga

FOTO: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Reses ke Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/10/2021). Foto: Eot/Man
FOTO: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Reses ke Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/10/2021). Foto: Eot/Man

LEGION NEWS.COM, MAKASSAR – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara menilai kondisi stabilitas keuangan di Provinsi Sulawesi Selatan pada triwulan II Tahun 2021 masih terjaga. Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat stabil didukung oleh peningkatan giro dan deposito.

“Dari sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) resiko kredit konsisten masih terjaga dengan rasio Non Perfoming Loan (NPL) di bawah batas 5 persen,” ucap Amir saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Reses ke Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/10/2021).

Amir menambahkan, pertumbuhan ekonomi Sulsel pada 2021 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2020, dengan adanya peningkatan mobilitas masyarakat pasca implementasi kebijakan pembatasan aktivitas.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini berharap dalam pertemuan hari ini dapat disampaikan kondisi capaian dan perkembangan perekonomian daerah di Sulsel tahun 2020 dan proyeksi di tahun 2021. (opi/sf)

Advertisement

 

LEGION NEWS.COM – Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengkritik langkah pemerintah yang mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Menurut Gobel, APBN seharusnya difokuskan untuk pemulihan ekonomi dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur.

“Soal kereta cepat biar kita serahkan ke investornya. Ini sesuai dengan ide awal yang berprinsip business to business,” tegas Gobel dalam keterangan pers yang diterima Parlementaria, Sabtu (30/10/2021). Langkah tersebut telah resmi diterbitkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Semula, pemerintah menyetujui pembuatan kereta cepat itu tak akan memakan APBN karena menganut skema business to business. Namun demikian, hingga saat ini anggaran pembangunan terus membengkak. “Yang pasti hingga kini sudah bengkak dua kali. Kondisi ini sudah berkebalikan dengan tiga janji semula serta sudah lebih mahal dari proposal Jepang. Padahal dari segi kualitas pasti Jepang jauh lebih baik,” tandas Gobel.

Oleh sebab itu, ia meminta agar pemerintah berfokus pada prioritas penggunaan anggaran saat ini, yakni untuk penanganan Covid-19, pemulihan ekonomi dan pembangunan ibukota negara baru. Pemerintah, kata Gobel, harus konsisten dengan skema pembangunan yang sejak dari awal sudah diputuskan. Pembengkakan biaya, dinilai Gobel seharusnya diserahkan ke perusahaan konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) atau PTPN VIII.

“Jadi jika terjadi pembengkakan biaya maka diserahkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Dan jika ada perusahaan yang tak mampu menyetorkan biaya tambahan maka sahamnya terdelusi dengan sendirinya. Ini proses bisnis yang biasa saja. Ini namanya business to business. Jangan memaksakan diri dengan meminta dana dari APBN,” kritik politisi Partai NasDem itu sembari meminta KCIC dapat bertindak secara transparan dan jujur dalam menggarap proyek tersebut.

Sebagaimana diketahui, kebutuhan investasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak dari 6,07 miliar dollar AS atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp114,24 triliun. Estimasi ini sedikit turun dari perkiraan awal mencapai 8,6 miliar dollar AS atau Rp122,8 triliun. Estimasi peningkatan biaya proyek tidak setinggi sebelumnya karena perusahaan melakukan efisiensi, seperti memangkas biaya, pembangunan stasiun, dan lainnya.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Kereta Api Indonesia (KAI) Salusra Wijaya menyebut kebutuhan investasi proyek akan meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun. Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020. Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun. (ann/sf)

Advertisement