Penulis: Teguh Handajanto
EDUKASI||Legion-news.com Kisah Dr. Hans J. Wospakrik, Orang Indonesia yang nyaris meraih hadiah Nobel seorang Ilmuwan sederhana rela naik angkot dan tidak punya rumah hingga akhir hayatnya
Pada awal tahun 1980-an, sambil melanjutkan studi pasca sarjananya, Hans pernah mengadakan riset bersama Martinus J.G. Veltman di Utrecht, Belanda.
Veltman adalah Fisikawan peraih nobel fisika tahun 1999. Ketika pindah ke Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat, Veltman ngotot mengajak Hans untuk bersama-sama dengannya melakukan riset di sana. Hal ini menunjukan bahwa Hans adalah fisikawan yang cemerlang.
Andai saja Hans menerima tawaran tersebut maka dipastikan ia akan menerima ganjaran hadiah Nobel bersama JG. Veltman.
Namun Hans menolak tawaran itu karena ia merasa berhutang budi pada Tanah airnya dan akan membaktikan segenap ilmunya kepada putera-puteri Indonesia kelak.
Hans Wospakrik adalah seorang fisikawan Indonesia yang merupakan dosen fisika teoritik di Institut Teknologi Bandung.
Hans adalah seorang yang mendapatkan penghargaan fisikawan terbaik oleh Universitas Atma Jaya Jakarta atas pengabdian, konsistensi, dan pengorbanannya yang tinggi dalam penelitian di bidang fisika teori. Ia memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika dunia berupa metode-metode matematika guna memahami fenomena fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein.
Dengan tujuh hasil penelitian yang menembus jurnal internasional terkemuka, tiga hasil penelitian diterbitkan jurnal online yang bersifat internasional, tak terhitung penelitiannya yang diterbitkan jurnal dan prosiding dalam negeri, serta menghabiskan waktu sebagai pegawai negeri mengajar dan membimbing mahasiswa di ITB, Dr Hans J Wospakrik yang meninggal pada 11 Januari 2005 dihargai pemerintah hanya sampai golongan IV-A, lektor kepala.
Setelah mengetahui publikasi Hans yang menembus Physical Review D, padahal waktu itu Hans masih dengan gelar sarjana, belum PhD, Prof Dr Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Kyoto, Jepang geleng-geleng kepala mengetahui Hans hanya dihargai pemerintah dengan golongan pangkat yang tidak memadai.
Prof Dr Ryu Sasaki mengatakan bahwa bila menggunakan syarat-syarat di Jepang, Hans adalah satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang berhak mendapat gelar Profesor.
Sebagai pegawai negeri, Hans memperlihatkan hubungan berbanding langsung antara gaji dan kehidupan. Pada sebagian besar pegawai negeri, hubungan gaji dan kehidupan adalah berbanding terbalik sebab dengan gaji kecil (gaji pokok pegawai dengan golongan tertinggi IV-E tidak lebih dari Rp 4 juta), banyak pegawai negeri punya rumah lebih dari satu, mobil lebih dari satu, deposito dalam orde miliar rupiah.
Hans selama hidupnya sebagai pegawai negeri tidak sempat memiliki rumah, tidak pernah memiliki mobil, bahkan sepeda motor.
Setiap tahun ia harus memperbarui kontrak rumahnya, ke kampus naik angkot.
Tak jarang ia pulang malam dari kampus jalan kaki setelah menempuh tujuh kilometer sebab angkot menuju rumahnya sudah tidak beroperasi lagi. Dalam hal ini, satu lagi predikat harus disematkan ke pundaknya: ‘Pegawai Negeri Terbaik’
Kebaikan-kebaikannya inilah yang menumbuhkan pilu ketika menyaksikan bagaimana rumah sakit memperlakukan seorang fisikawan Indonesia yang luar biasa ini di akhir hidupnya.
Karena kekurangan uang panjar, dua hari pertama Hans yang menderita leukemia itu tidak mendapatkan obat dari rumah sakit tempat ia terakhir dirawat.
Begitu ada uang tambahan, barulah rumah sakit mulai memberikan obat. Beberapa jam setelah itu Hans mengembuskan napasnya yang terakhir.
Di kamar jenazah, tubuh Hans harus menunggu suntik formalin karena keluarga harus pontang-panting mengumpulkan uang sebanyak Rp 1 juta. Kartu kredit tidak berlaku di ruang jenazah itu.
Dokter menunggu uang terkumpul. Untung ada Karlina Supelli, seorang yang bertanya ke dokter, “Saya punya beberapa dollar dan rupiah yang kalau dikumpulkan sekitar Rp 1 juta. Apakah ini dapat diterima?” Sang dokter langsung memungut uang itu dan formalin seketika disuntikkan.
Karlina adalah adik kelas Hans di ITB. Karlina di Departemen Astronomi, Hans di Departemen Fisika. Keduanya mendalami kosmologi. Keduanya menulis skripsi dengan pembimbing yang sama: Dr Jorga Ibrahim. Keduanya lulus cum laude.
Penulis: Teguh Handajanto