
LEGION NEWS || MAKASSAR – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Sulawesi Selatan (PBHI Sulsel) bersama Walhi Sulsel, HMI Komisariat Hukum UMI, dan LKBHMI Cabang Makassar menegaskan bahwa rencana pembentukan Tim atau Komisi Reformasi Kepolisian RI berisiko hanya menjadi gimmick politik jika tidak dijalankan secara sistemik dan berbasis konstitusi.
Konferensi pers digelar di kantor PBHI Sulsel, Rabu (17/9/2025), dengan menghadirkan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka sepakat bahwa reformasi Polri harus berbasis mandat konstitusi dan tidak boleh berhenti pada langkah simbolis.
Menurut PBHI Sulsel, ada tiga alasan mendasar mengapa reformasi Polri mendesak dilakukan.
Pertama, Pasal 30 UUD 1945 menegaskan peran Polri dalam pertahanan dan keamanan, sementara UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang sudah berusia 23 tahun belum pernah dievaluasi secara menyeluruh. “Seharusnya sudah ada agenda perbaikan yang sistemik dan terinstitusionalisasi, bukan sekadar reaksi terhadap kasus tertentu,” tegas PBHI.
Kedua, luasnya fungsi Polri—dari penegakan hukum, ketertiban umum, hingga pelayanan publik—membuat keluhan masyarakat semakin menumpuk. Laporan masyarakat sering lamban diproses, pungli di layanan publik masih marak, dan penanganan demonstrasi kerap represif. Fenomena ini melahirkan kritik publik melalui tagar #PercumaLaporPolisi dan #NoViralNoJustice.
Ketiga, pembenahan tidak bisa berhenti pada aspek etik atau profesionalitas semata. Reformasi harus menyentuh regulasi, struktur kelembagaan, dan kultur internal yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia.
PBHI juga mengingatkan risiko pengulangan pola lama seperti di era Presiden Jokowi. Saat itu, pembentukan berbagai tim ad hoc—mulai dari Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan hingga Tim Percepatan Reformasi Hukum—tidak menghasilkan perbaikan struktural.
“Jika hanya membentuk tim independen, apalagi diisi figur politisi, hasilnya cenderung dipolitisasi, bukan solusi,” lanjut PBHI. Evaluasi kinerja Polri, menurut mereka, harus dikunci dalam regulasi setingkat undang-undang, melalui program legislasi nasional yang menyentuh Undang-Undang Polri, KUHAP, hingga regulasi sektoral lainnya.
Lebih jauh, PBHI menekankan bahwa reformasi Polri adalah indikator penting demokrasi, penjaga civil supremacy, sekaligus faktor penopang iklim usaha dan investasi nasional. Selama ini Indonesia mendapat rapor buruk dari lembaga internasional, mulai dari The Economist Intelligence Unit yang menilai Indonesia sebagai “flawed democracy” hingga Civicus yang mencatat status “obstructed democracy”.
“Reformasi Polri berbasis konstitusi akan memperbaiki citra demokrasi, menghapus kultur kekerasan, serta mencegah infiltrasi pendekatan militer ke ruang sipil,” tegas PBHI.
Mereka menambahkan, perbaikan sistemik di tubuh Polri akan berdampak langsung pada stabilitas hukum dan keamanan. Kondisi ini dipercaya dapat memulihkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat keyakinan investor terhadap iklim bisnis di Indonesia.
“Agenda reformasi Polri harus konsisten dalam kerangka konstitusi. Jangan sampai berubah menjadi ajang gimmick politik yang membajak cita-cita reformasi itu sendiri,” tutup PBHI Sulsel.


























