Kiai Gentayu Sang Penyelamat Pangeran Diponegoro

Ilustrasi Pangeran Diponegoro
Ilustrasi Pangeran Diponegoro

LEGION NEWS.COM, SOSOK – Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa atau De Java Oorlog melawan penjajah kompeni Belanda selama lima tahun banyak menyimpan cerita menarik.

Termasuk kisah heroik dalam perang yang dijalani sejak 20 Juli 1825 ketika pasukan Belanda menyerbu kediaman Sang Pangeran di Tegalrejo, Yogyakarta hingga 28 Maret 1830 saat dipaksa menyerah dalam perjanjian licik di Magelang.

Di antaranya, tentang kuda-kuda perang Pangeran Diponegoro yang setia dan gagah berani menemani selama perang. Dalam Babad Diponegoro yang dituturkan Ki Roni Sudewo dalam channel youtube pribadinya, diceritakan ada enam ekor kuda milik Pangeran Diponegoro yang disering ikut dalam berbagai pertempuran sengit di medan laga.

Pertama, kuda yang paling fenomenal dan terkenal, yaitu Kiai Gentayu. Kuda ini seluruh tubuhnya berwarna hitam dan keempat kakinya berwarna putih, dalam istilah Jawa dikenal sebagai Pancal Panggung.

Advertisement

Begitu terkenalnya Kiai Gentayu, pelukis legendaris Indonesia Basuki Abdullah membuat lukisan Kiai Gentayu yang sedang ditunggangi Pangeran Diponegoro saat berperang.

Bahkan, Pangeran Diponegoro pun memberikan catatan khusus dalam Babad Diponegoro tentang kuda perang kesayangannya ini.

Pangeran Diponegoro menuliskan kisah heroik Kiai Gentayu yang tewas dalam perang ketika melakukan tindakan penyelamatan terhadap dirinya.

Peristiwa tersebut terjadi ketika Pangeran Diponegoro bersama sejumlah panglima perangnya, termasuk Ngabehi Joyokusumo, sedang di Krebet dekat Selarong.

Ketika Pangeran Diponegoro dan para pembesarnya sedang makan siang, tiba-tiba dikepung musuh. Pangeran Diponegoro yang hanya dikawal 40 prajurit bersenjata tombak atau busar, tak menemukan jalan keluar untuk lolos dari kepungan ketat.

Pada saat genting, Pangeran Diponegoro dan panglimanya masih berunding mencari cara meloloskan diri dari kepungan musuh dan meninggalkan tempat tersebut, mendadak Kiai Gentayu mengamuk. Kuda tersebut meronta dan melepaskan diri dari Gamel, petugas yang menjaga kuda.

Kemudian Kiai Gentayu menerobos dan menyerang pasukan Belanda yang melakukan penggepungan sehingga membuat musuh terkejut.

Saat konsentrasi pasukan Belanda terfokus pada aksi penyerangan Kiai Gentayu, pengepungan pun menjadi longgar.

Akhirnya, Pangeran Diponegoro bersama pasukannya pun menemukan jalan keluar untuk meloloskan diri. Sedangkan Kiai Gentayu mengambil jalan lain yang berbeda arah dan terus dikejar pasukan Belanda, yang terus menembaki dan melempari tombak.

Kiai Gentayu masuk tempat yang berlumpur dan pasukan Belanda terus menembaki dan melempari tombak. Akhirnya Kiai Gentayu tewas di daerah dekat Soko. Pengorbanan Kiai Gentayu tak sia-sia karena Pangeran Diponegoro selamat sampai di Trucuk, tempat pasukan intinya berkumpul.

Kuda kedua, Kiai Duruso yang digunakan Pangeran Diponegoro meloloskan diri ketika Kiai Gentayu mengalihkan perhatian pasukan Belanda yang melakukan pengepungan. Kiai Duruso ditunggangi Pangeran Diponegoro meloloskan diri dari Krebet ke Trucuk.
Kuda ketiga, Wijaya Krisna.

Pangeran Diponegoro tidak banyak menceritakan soal kuda Wijaya Krisna. Kuda ini dikenal sebagai kuda yang cerdas, pemberani, dan tangkas. Salah satu kuda yang dekat dengan Pangeran Diponegoro selama masa perang.

Keempat, Wijoyo Colo. Kuda ini pernah digunakan Pangeran Diponegoro saat perang di daerah Punda, sekitar Dekso, Kabupaten Kulonprogo. Kuda Wijoyo Colo juga mengikuti perang-perang di sekitar wilayah Nanggulan.

Dua kuda perang lainnya yang tak kalah istimewa, adalah Wijoyo Copo dan Joyo Copo. Dua kuda kembar ini selalu mengikut Pangeran Diponegoro selama masa perang.

Bahkan dikisahkan ada kejadian unik, ketika Pangeran Diponegoro berangkat perang, namun kuda Wijoyo Copo tidak diajak.

Seorang perawat kuda pun memberi kabar kepada Pangeran Diponegoro, jika Wijoyo Copo menangis di kandangnya karena tidak diajak berperang. Akhirnya perawat kuda itu diminta untuk melepaskan Wijoyo Copo dan menyusul Pangeran Diponegoro ke medan perang.

Pangeran Diponegoro menuliskan, Wijoyo Copo dan Joyo Copo dikenal sebagai kuda yang sangat berani dan tidak punya rasa takut. Ketika berperang bersama Pangeran Diponegoro, Wijoyo Copo selalu bergerak ke pusat pertahanan musuh. Seolah dia mengerti apa yang diinginkan tuannya.

Bahkan para prajurit Pangeran Diponegoro punya kepercayaan terhadap kebiasaan Wijoyo Copo. Jika Wijoyo Copo berangkat ke medan perang penuh semangat, maka diyakini mereka akan menang.

Kemudian Wijoyo Copo punya keistimewaan gerakan cepat dan mampu melompat sangat jauh. Bahkan Pangeran Diponegoro menulis mampu melompati sebuah sungai.

Pangeran Diponegoro menuliskan kuda-kuda ini sangat mengerti apa yang dirasakannya. Bahkan ketika berada di Karang Duwur ketika Pangeran Diponegoro lelah berperang dengan Belanda dan terpisah sampai beberapa jauh dan lama, Wijoyo Copo bisa kembali menemuinya.

Pangeran Diponegoro diceritakan mempunyai banyak kuda karena dia mempunyai sekitar 60 pekatik atau perawat kuda. Tak mengherankan, karena Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pangeran terkaya. Dia juga memiliki tanah dan sawah yang luas

Pihak Belanda pernah memberikan hadiah kuda kepada Pangeran Diponegoro sedang melakukan diplomasi untuk berunding. Salah satu perwira Belanda, Kolonel Jan-Baptist Cleerens membawa tiga ekor kuda, satu ekor dari panglima tentara Belanda Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron De Kock dan dua ekor dari Cleerens.

Begitu juga ketika Pangeran Diponegoro dan pasukan menjelang perjalanan dari tanah romo menuju ke Jawang, untuk meneruskan ke Menoreh.

Di Kejawang, Pangeran Diponegoro diajak berunding, namun minta persyarat diberikan 76 ekor kuda untuk pasukannya. Sebab, rute ke Menoreh sangat berat jika ditempuh dengan jalan kaki.

Saat pagi hari sebelum Pangeran Diponegoro dan pasukannya berangkat, pihak Belanda sudah menyediakan 100 ekor kuda. Hal ini di luar dugaan Pangeran Diponegoro karena syarat yang diberikan kepada Belanda sebenarnya penolakan secara halus untuk berunding, namun dalam semalam syarat tersebut bisa dipenuhi.

Dan, orang Belanda paham dengan sifat para ningrat Jawa yang pantang menarik kata-katanya.

Advertisement