Ketua Pemuda Justicia: Kajari dan Kasi Pidum Bulukumba Gagal Total, Lindungi Pelaku dan Hancurkan Wibawa Hukum

0
FOTO: Keluarga korban tabrakan maut saat menggelarkan aksi unjuk rasa di Kejari Bulukumba (Hasil tangkapan layar)
FOTO: Keluarga korban tabrakan maut saat menggelarkan aksi unjuk rasa di Kejari Bulukumba (Hasil tangkapan layar)

LEGIONNEWS.COM – BULUKUMBA, Ketua Pemuda Justicia Kabupaten Bulukumba, Syamsul Bahri Majjaga, melontarkan kritik tajam terhadap Kejaksaan Negeri Bulukumba, khususnya Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum), yang dinilai gagal menegakkan keadilan dalam perkara kecelakaan lalu lintas maut di Kecamatan Kajang.

Kasus tersebut menyebabkan tiga orang meninggal dunia, termasuk seorang ibu hamil, namun pelaku hanya dituntut dua tahun dan dijatuhi vonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh pengadilan.

Syamsul menilai penanganan kasus ini mencoreng integritas hukum dan menyakiti hati publik yang mengharapkan keadilan ditegakkan setimpal dengan besarnya kehilangan.

Menurut Syamsul, argumentasi Kajari bahwa tidak dilakukan banding karena vonis telah memenuhi 2/3 dari tuntutan hanyalah dalih administratif yang digunakan untuk menutupi lemahnya sikap dan kepemimpinan kejaksaan dalam menangani perkara yang menelan korban jiwa. Ia menyebut prosedur hukum bukan alasan untuk mengorbankan rasa keadilan.

“Kajari dan Kasi Pidum Bulukumba bukan sedang menegakkan hukum, mereka sedang melindungi pelaku dan menginjak-injak rasa keadilan publik. Tiga nyawa melayang, tapi pelaku hanya dituntut dua tahun dan divonis 1,6 tahun? Ini penghinaan hukum paling terang-terangan yang dilakukan oleh penegak hukum sendiri!” tegas Syamsul.

Syamsul juga mengkritik keras penggunaan SOP Kejaksaan sebagai alasan untuk tidak mengajukan banding.

Menurutnya, SOP bukan kitab suci dan tidak boleh dijadikan perisai untuk melindungi kejanggalan hukum. Ia menyatakan bahwa prosedur internal harus tunduk pada prinsip keadilan substantif.

“SOP itu bukan kitab suci. Hukum harus berpihak pada korban dan keadilan, bukan pada kepentingan internal jaksa. Kalau SOP dipakai untuk membenarkan ketidakadilan, berarti sistem hukum kita sudah dijalankan oleh robot birokrasi yang tak punya hati nurani,” ujarnya.

Pernyataan Kajari yang menyebut bahwa tidak ditemukan fakta hukum mengenai pelaku dalam keadaan mabuk atau mengemudi dalam kecepatan tinggi juga disorot keras oleh Pemuda Justicia. Syamsul menilai hal tersebut sangat janggal, mengingat pernyataan awal dari keluarga korban dan sejumlah saksi di lapangan menyebutkan bahwa pelaku dalam kondisi tidak sadar dan mengemudi secara ugal-ugalan.

“Kalau tidak ada fakta hukum soal mabuk, berarti penyidik dan jaksa tutup mata atau sengaja menghilangkan bukti. Di titik ini, kita patut curiga ada main mata, ada niat jahat. Kajari harus diselidiki, jangan sampai jadi pelindung para pembunuh di jalan raya!” kata Syamsul lantang.

Lebih parah lagi, Pemuda Justicia menemukan bahwa keluarga korban tidak pernah dilibatkan secara layak dalam proses hukum. Mereka tidak pernah menerima informasi resmi dari kejaksaan dan baru mengetahui vonis pelaku dari pihak luar. Ini, menurut Syamsul, adalah bentuk penghilangan hak partisipasi korban, dan melanggar asas transparansi serta akuntabilitas hukum.

Ia menilai kejaksaan telah mengabaikan kewajiban moral dan etiknya sebagai lembaga negara yang seharusnya berpihak pada kebenaran dan korban.

Atas dasar itu, Pemuda Justicia mendesak Komisi Kejaksaan Republik Indonesia untuk segera memeriksa Kajari Bulukumba, Kasi Pidum, dan seluruh jaksa yang terlibat dalam penanganan kasus ini. Mereka juga mendesak Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi menyeluruh atas Kejari Bulukumba dan membuka kembali peluang Peninjauan Kembali (PK) demi menegakkan keadilan substantif.

“Jika ini dibiarkan, maka institusi kejaksaan akan menjadi tempat berlindungnya para pelanggar hukum, bukan benteng bagi pencari keadilan,” pungkas Syamsul Bahri Majjaga. (*)

Advertisement