LEGION NEWS.COM – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Nyalla Mahmud Mattalitti menyebut big data yang disampaikan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tidak benar.
Menurutnya, klaim punya big data 110 juta warganet itu hanya sebagai alasan Luhut menggulirkan wacana penundaan Pemilu 2024.
Big data klaim Luhut Pandjaitan juta menyebut rakyat tidak tertarik Pemilu 2024.
“Saya hanya menyampaikan itu (big data milik Luhut, red) bohong,” kata La Nyalla dilansir dari JPNN Sultra (sultra.jpnn.com), di Jakarta, Kamis (14/4).
Mantan Ketua PSSI itu mengimbau rakyat tidak terpengaruh dengan klaim Luhut bahwa rakyat bersikap biasa saja menyikapi Pemilu 2024.
“Jangan mudah terpengaruh berita bohong,” kata pria berusia 62 tahun ini.
La Nyalla berani melabeli big data Luhut bohong setelah melihat temuan Evello, lembaga analitik data yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 2014.
Menurut Evello, jumlah pengguna media sosial membahas penundaan Pemilu 2024 hanya 693.289 akun.
“Jumlah 110 juta (akun pengguna medsos) juga berlebihan ya, 1 juta juga enggak sampai,” kata pendiri Evello Dudy Rudianto di Senayan, Jakarta, Kamis (14/4).
Dudy menyampaikan pihaknya memantau media sosial sekitar satu tahun sebelum Luhut membeberkan big data.
“Jadi, ditarik ke belakang satu tahun pun yang membicarakan pemilu atau penundaan pemilu paling besar 693.289 akun,” ujarnya. (Sumber: fajar)
Kemenlu AS Aplikasi PeduliLindungi Diduga Melanggar HAM
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD angkat bicara setelah Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Kemenlu AS) menduga terjadi penggunaan aplikasi PeduliLindungi melanggar HAM.
Menurut Mahfud, aplikasi tersebut justru dibuat pemerintah untuk melindungi rakyat dari penularan Covid-19.
“Kami membuat program PeduliLindungi justru untuk melindungi rakyat. Nyatanya kita berhasil mengatasi Covid-19 lebih baik dari Amerika Serikat (AS),” kata mantan Menhan RI itu kepada wartawan, Jumat (15/4).
Mahfud kemudian mengatakan melindungi HAM itu bukan hanya soal individual. Namun, perlindungan itu perlu diarahkan juga ke komunal.
Dalam konteks dibuatnya PeduliLindungi, kata Mahfud, negara tentu ingin berperan aktif mengatur penularan Covid-19 di masyarakat.
“Itulah sebabnya kami membuat program PeduliLindungi yang sangat efektif menurunkan penularan infeksi Covid-19 sampai ke Delta dan Omicron,” ujar Mahfud.
Eks Ketua MK itu kemudian membeber data soal laporan pelanggaran HAM oleh pemerintah AS sebagaimana temuan Special Procedures Mandate Holders (SPMH) pada 2018-2021.
Mahfud menyebut kasus pelanggaran HAM di AS justru lebih tinggi dibandingkan catatan Indonesia selama kurun waktu tersebut, yakni hanya 19.
“AS pada kurun waktu yang sama dilaporkan sebanyak 76 kali, ada juga India yang juga banyak dilaporkan,” tutur pria kelahiran Jawa Timur itu.
Mahfud mengatakan temuan SPMH bisa dianggap sebagai penguatan peran lembaga masyarakat dalam memantau aksi pemerintah di negara masing-masing.
“Laporan-laporan itu, ya, biasa saja dan bagus sebagai bentuk penguatan peran cicil society,” kata dia. (Sumber: jpnn)