Penulis: Lili Cahyati
Peserta Advance Training LK III HMI BADKO Jawa Timur
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Kesadaran politik perempuan berdasarkan sejarah Indonesia telah tumbuh sejak Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta 1928. Kesadaran politik dalam bentuk partisipasi nyata dan penggunaan hak-hak politik perempuan tercermin pula pada pemilu-pemilu yang dilaksanakan di mana mereka memiliki hak memilih dan dipilih.
Pengakuan yang sama hak- hak perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia telah diakui secara tegas. Pengakuan tersebut ditetapkan melalui berbagai instrumen hukum dan dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak- hak politik mereka.
Namun, kendati berbagai perangkat hukum telah melegitimasi partisipasi politik bagi perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya.
Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan laki-laki. Dalam lembaga legislatif keterwakilan perempuan amat kecil, tidak seimbang dengan jumlah mereka.
Keterbatasan partisipasi perempuan ini memengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap upaya pemberdayaan perempuan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak minimal 30%.
UU pemilu tersebut secara tidak langsung merupakan salah satu bentuk akomodasi politik atas tuntutan pentingnya kesetaraan gender bagi kalangan perempuan dalam wilayah politik, sekaligus memberikan ruang partisipasi politik yang lebih besar bagi perempuan dalam pembangunan bangsa.
Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi di berbagai bidang kehidupan. Apalagi berkaitan dengan politik yang mengurus hajat hidup orang banyak, termasuk kaum perempuan itu sendiri.
Representasi perempuan yang memadai di lembaga legislatif akan sangat dibutuhkan. Hal ini bisa dilihat dalam kondisi legislatif masa sebelumnya di mana keterwakilan perempuan sangat minim sehingga mengakibatkan kepentingan kaum perempuan menjadi terabaikan.
Kuota 30% keterwakilan perempuan ini diharapkan mampu mengeliminasi hal tersebut dan memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk terlibat lebih banyak di ranah politik.
Jumlah terbanyak keterwakilan perempuan terdapat dari hasil Pemilu 2019. Terdapat 120 perempuan yang berhasil duduk di kursi DPR periode 2019-2024 atau setara dengan 20,5 persen dari total anggota DPR.
Namun pada kabinet merah putih Prabowo-Gibran untuk periode 2024-2029 dari 53 nama hanya 5 menteri yang berjenis kelamin perempuan, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Viada Hafid, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi.
Kebijakan afirmasi kuota minimal 30 persen ini diharapkan mampu memberikan ruang politik lebih besar. Kebijakan ini bertujuan memastikan bahwa perempuan sebagai kelompok minoritas kritis yang ditetapkan sebagai tindakan temporer atau sementara sampai hambatan-hambatan terhadap masuknya perempuan dalam ranah politik dapat disingkirkan.