SOROTAN, Legion-news Keluarga besar Akidi Tio di Palembang Sumatra Selatan belakangan ini heboh bakal menyumbangkan uang pribadinya senilai Rp2 triliun guna penanggulangan penyebaran COVID-19 di Sumsel.
Pagi waktu di Jakarta, Senin, 2 Agustus 2021 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang juga Menkopolhukam, Mahfud MD dalam laman akun twitternya menyinggung soal komentar mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.
Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tungu realisasinya dgn rasional. Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi. https://t.co/Rk7M0ahcoh
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) August 2, 2021
“Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tungu realisasinya dgn rasional. Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi.” tulis pesan akun Menko Polhukam @mohmahfudmd. Senin
“Waktu sy menhan ada orng mengaku pny sekoper uang dollar Amerika yg nilai perlembarnya 1000 dollar. Ketika sy tny ke BI diketawain krn USA hny mencetak lembaran uang paling tinggi 100 dollar. Ada jg yg minta dibantu menggali harta karun tp tak jelas. Semoga yg Akidi Tio ini nyata” tulis utasan dia di twitter.
Dilansir dari tribun-medan, Keluarga besar Akidi Tio bungkam setelah mengklaim mau menyumbang Rp 2 triliun untuk penanganan covid-19 ke Palembang-Sumsel.
Mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin punya pandangan lain. Berikut ini opini Hamid Awaludin soal sumbangan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio di Palembang:
Heboh dan meriah. Riuh dengan tepuk tangan para pejabat negeri.
Ahli waris Akidi Tio, seorang pengusaha di Sumatera Selatan, menyumbang Rp 2 triliun.
Banyak yang kagum dan memuja ketulusan itu, sebab di tengah lilitan utang negara dan derita akibat Covid-19, ada warga negara yang memberikan hartanya untuk kemaslahatan orang banyak.
Saya tidak bertepuk tangan. Saya tidak memberi rasa kagum, apalagi pujian. Saya malah kian sanksi mengenai akal waras kita semua.
Saya kian teguh bahwa para pejabat di negeri ini, sama sekali belum belajar dari berbagai kejadian masa lalu. Sejumlah orang telah melecehkan akal sehat dan memarjinalkan tingkat penalaran para pejabat negeri ini.
Hingga uang Rp2 triliun tersebut benar-benar sudah di tangan, saya tetap menganggap bahwa di negeri ini masih banyak orang yang ingin mempopulerkan diri dengan cara melecehkan akal waras para pejabat.
Belum terlampau lama ke belakang, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai pilantropis dunia, telah mendeklarasikan ke publik bahwa ia menyumbang lebih seribu rumah di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja dilantakkan oleh bencana alam, likuifasi.
Orang yang sama juga telah memaklumatkan bahwa ia menyumbang beberapa ribu unit rumah yang telah diterjang oleh badai gempa bumi di Nusa Tenggara Barat.
Sang tokoh, sebelum kejadian di dua provinsi kita itu, juga membiarkan dirinya diliput pers bahwa ia membangun secara sukarela asrama prajurit pasukan elite kita.
Hingga kini, sekian tahun kemudian, semua deklarasi itu, adalah hampa belaka.
Yang lebih hebat lagi, sang pemberi janji, diganjar dengan penghargaan Bintang Mahaputra. Hebat khan?
Akibat janji-janji yang tak ditepatinya itu, Wakil Presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla berteriak kencang: “Cabut gelar kehormatan itu.”
Sejarah Terulang Lagi Bung Karno pada era 50-an, pernah menerima sepasang suami isteri di Istana Negara.
Mereka adalah Raja Idris dan Ratu Markonah.
Mereka mengklaim diri sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di Jambi.
Mereka mendeklarasikan bisa membantu pembebasan Irian Barat.
Semua mengagumi kedua orang tersebut. Tepuk tangan dan senyum sumringah para pejabat di negeri ini terhambur lepas. Berbunga-bunga.
Hebat. Kedok penipuan pun tersingkap beberapa hari kemudian.
Raja Idris ternyata adalah pengayuh becak, sementara Ratu Markonah adalah pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah.
Para pejabat terkibuli secara sistematis, yang sekaligus berarti, dua orang telah melecehkan daya nalar pejabat kita ketika itu.
Kita pernah juga dikagetkan oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar.
Ia mengklaim bahwa ada harta karun besar yang bisa dipakai untuk melunasi seluruh utang negara.
Harta tersebut berupa emas batangan, sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran, tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor.
Heboh luar biasa. Rasa kagum mencuat seketika. Harapan dan optimisme pun kian berkecambah.
Sebentar lagi Indonesia bebas dari utang.
Menko Kesra Ketika itu, Jusuf Kalla, meminta Said Agil datang menemuinya. Kementrian Agama memang di bawah kordinasi Kementerian Kesra.
Tahu tidak, berapa utang luar negeri Indonesia, begitu pertanyaan Jusuf Kalla ke Menteri Agama. Menteri Agama tak bisa menjawab.
Jusuf Kalla lalu memberi hitungan dengan enteng.
Jumlah utang luar negeri kita saat itu, awal tahun 2000, kurang lebih Rp 1500 trilyun.
Harga emas setiap gram kala itu, adalah Rp 250 ribu per gram. Maka, untuk melunasi utang pemerintah, kita butuh sekitar 6 ribu ton emas batangan.
Bila emas batangan tersebut kita angkut dengan truk yang berkapasitas 4 ton, dengan asumsi, panjang truk adalah 5 meter, maka kita butuh jejeran truk sepanjang 5 km, Itu artinya, truk-truk tersebut berbaris mulai dari Kebayoran Baru hingga Bundara Hotel Indonesia.
Kira-kira ada tidak emas batangan sebanyak itu di Batutulis, tanya Jusuf Kalla.
Menteri Agama terdiam lesu. Sekali lagi, akal sehat pejabat dipreteli. Logika berpikir para pejabat dianiaya.
Sayangnya, semua itu berdampak kepada masyarakat.
Setidaknya, masyarakat mempercayai kebohongan yang sistematis seperti itu. Tahun 2007, sidang kabinet dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tiba-tiba saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, melapor dengan semangat berapi-api. (rdk)