
LEGIONNEWS.COM – BULUKUMBA, Pemuda Justicia Kabupaten Bulukumba menyoroti jomplangnya tuntutan dan vonis dalam kasus tabrak maut di Kecamatan Kajang yang menewaskan lebih dari satu orang, termasuk seorang ibu hamil.
Dalam aturan hukum, ancaman hukuman terhadap pelaku bisa mencapai 15 tahun penjara, namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut 2 tahun, dan majelis hakim menjatuhkan vonis 1,6 bulan penjara.
Kecelakaan maut itu terjadi di wilayah Kecamatan Kajang. Berdasarkan informasi yang dihimpun, peristiwa tersebut melibatkan pengemudi yang diduga lalai dan melanggar aturan lalu lintas. Korban meninggal di tempat, termasuk seorang ibu hamil bersama janin yang dikandungnya.
Ketua Pemuda Justicia Bulukumba, Syamsul Bahri Majjaga, menegaskan bahwa secara hukum, kematian ibu hamil berarti dua nyawa hilang. Janin yang ada dalam kandungan memiliki hak hidup yang diakui undang-undang, sehingga seharusnya status korban menjadi faktor pemberat dalam tuntutan maupun vonis.
“Undang-Undang Perlindungan Anak mengakui janin sebagai subjek hukum yang berhak hidup. Pasal 80 ayat (3) jelas mengatur bahwa perbuatan yang mengakibatkan anak meninggal dunia dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara. Kalau kita kombinasikan dengan Pasal 359 KUHP dan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, ancaman hukuman jelas jauh lebih berat dari 2 tahun. Kenapa tuntutannya rendah dan vonisnya lebih rendah lagi? Ini patut dipertanyakan,” ujarnya, Jumat (8/8/2025).
Syamsul memaparkan ancaman hukuman yang seharusnya dijeratkan kepada pelaku, antara lain:
Pasal 359 KUHP – Kelalaian yang mengakibatkan kematian: maksimal 5 tahun penjara.
Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan – Kelalaian mengemudi yang mengakibatkan kematian lebih dari satu orang: maksimal 6 tahun penjara.
Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak – Mengakibatkan anak meninggal dunia (termasuk janin): maksimal 15 tahun penjara.
“Kalau kita bandingkan, dari ancaman maksimal 15 tahun, jaksa menuntut 2 tahun, dan hakim menjatuhkan vonis 1,6 bulan. Ini bukan sekadar ringan, tapi benar-benar jomplang. Kami menduga ada permainan,” tegas Syamsul.
Ia juga menekankan bahwa jaksa seharusnya menjadi wakil korban di persidangan, memperjuangkan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Dengan tuntutan yang rendah, kata dia, seolah-olah ada karpet merah yang digelar untuk pelaku.
Pemuda Justicia mendesak Kejaksaan Agung dan Kejati Sulsel untuk memeriksa Kasi Pidum dan JPU yang menangani perkara ini, guna memastikan tidak ada pelanggaran etik maupun disiplin aparat penegak hukum.
“Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kami akan mengawal kasus ini sampai tuntas dan siap melakukan aksi jika permintaan kami diabaikan,” pungkasnya.
Sebelumnya dilansir dari pemberitaan Radarselatan.com, terbitan 6 Agustus 2025, Kejari Bulukumba menegaskan bahwa tidak ditemukan fakta hukum yang menguatkan dugaan tersebut, baik dalam proses penyidikan maupun dalam persidangan.
“Kecepatan kendaraan berdasarkan berkas perkara dan fakta persidangan adalah 80 km/jam, dan tidak terdapat bukti atau keterangan saksi yang menyatakan bahwa pengemudi dalam keadaan mabuk,” jelas Kepala Kejaksaan Negeri Bulukumba, Banu Laksmana.
Dalam sidang, saksi yang duduk di sebelah pengemudi bahkan menyatakan bahwa terdakwa dalam kondisi sadar dan sempat membanting setir ke kiri untuk menghindari tabrakan.
Tindakan ini, menurut Jaksa, menunjukkan bahwa terdakwa masih memiliki kontrol terhadap kendaraannya.
Berdasarkan hal tersebut, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana 2 tahun penjara, dan Majelis Hakim kemudian menjatuhkan pidana 1 tahun 6 bulan penjara.
Kritik juga diarahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena tidak mengajukan banding atas vonis hakim.
Menanggapi hal ini, Kejari menjelaskan bahwa sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal, apabila putusan hakim minimal 2/3 dari tuntutan jaksa, dan seluruh pertimbangan yuridis serta fakta-fakta persidangan telah diakomodir, maka banding tidak diperlukan.
“Putusan ini telah sesuai dengan batasan SOP yang berlaku, dan tidak ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menempuh upaya hukum lanjutan,” tegas Banu.
Mengenai keluhan keluarga korban yang mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai jalannya persidangan, Kejari menyampaikan bahwa komunikasi telah dilakukan antara perwakilan keluarga korban dengan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan dalam beberapa kesempatan, telah difasilitasi pula pertemuan antara keluarga korban dan pihak keluarga terdakwa.
Mengenai keluhan keluarga korban yang mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai jalannya persidangan, Kejari menyampaikan bahwa komunikasi telah dilakukan antara perwakilan keluarga korban dengan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan dalam beberapa kesempatan, telah difasilitasi pula pertemuan antara keluarga korban dan pihak keluarga terdakwa.
“Namun kemungkinan informasi tersebut tidak sampai kepada keluarga inti. Perlu juga dipahami bahwa jaksa hanya berkewajiban memanggil saksi-saksi yang ada di dalam berkas perkara, bukan seluruh pihak keluarga,” ujarnya. (*)