Kasus Guru Dipecat dan Ironi Dunia Pendidikan Kita

0
FOTO: Guru Abdul Muis (kiri) dan Rasnal dalam aksi damai di Masamba, Luwu Utara bersama PGRI. (IST)
FOTO: Guru Abdul Muis (kiri) dan Rasnal dalam aksi damai di Masamba, Luwu Utara bersama PGRI. (IST)

Oleh: Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan)

LEGIONNEWS.COM – BEBERAPA hari terakhir, kita menyaksikan perjuangan panjang yang menyingkap kerapuhan tata kelola pendidikan di negeri ini.

Dua guru di SMA Negeri 1 Luwu Utara—Drs. Abdul Muis dan Drs. Rasnal, M.Pd.—akhirnya memperoleh rehabilitasi nama baik dari Presiden Prabowo Subianto.

Langkah itu menandai akhir dari perjalanan hukum yang melelahkan, tetapi sekaligus membuka kembali luka lama dalam sistem pendidikan nasional, yaitu lemahnya perlindungan bagi guru dan ketidakhadiran negara dalam menjamin kesejahteraan mereka.

Kasus ini berawal dari kepedulian. Di sekolah tempat keduanya mengajar, sejumlah guru honorer telah hampir 10 bulan tidak menerima honor.

Dalam rapat bersama komite sekolah dan orang tua, disepakati iuran sukarela sebesar Rp 20 ribu per siswa per bulan untuk membantu membayar gaji para honorer.

Dua guru ASN yang juga aktif di komite sekolah mengoordinasikan mekanisme sederhana itu—tanpa paksaan, tanpa manipulasi, semata karena rasa kemanusiaan dan tanggung jawab moral terhadap kelangsungan pembelajaran.

Namun niat baik itu justru berujung pahit. Laporan sebuah LSM mengenai dugaan pungutan liar (pungli) memicu proses hukum panjang. Pengadilan Negeri Masamba sempat membebaskan keduanya, tetapi kasasi di Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara serta denda Rp 50 juta.

Dampaknya, kedua guru senior yang sudah mendekati pensiun ini akhirnya dipecat tidak dengan hormat (PTDH) sebagai ASN melalui SK yang diteken oleh Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman.

Baru setelah publik bereaksi dan perhatian nasional meluas, Presiden Prabowo turun tangan. Melalui keputusan rehabilitasi, kepala negara memulihkan martabat dua guru yang sejatinya sedang berjuang mengisi kekosongan fungsi negara di sekolahnya.

Potret Kerapuhan Sistemik

Peristiwa ini menyingkap ironi besar dalam sistem pendidikan kita.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jumlah guru di Indonesia mencapai sekitar 3,39 juta orang pada tahun ajaran 2024/2025.

Dari jumlah itu, masih terdapat ratusan ribu guru honorer yang menggantungkan hidup pada gaji di bawah standar—sebagian besar bahkan di bawah Rp 2 juta per bulan.

Program rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memang berjalan, namun masih menyisakan puluhan ribu guru honorer yang belum terakomodasi karena keterbatasan kuota dan birokrasi daerah yang lamban.

Di banyak daerah, mereka tetap mengabdi tanpa kepastian gaji bulanan, hanya dengan harapan akan diangkat suatu saat nanti. Kondisi tersebut memaksa sekolah mencari cara alternatif agar kegiatan belajar tidak terhenti.

Komite sekolah, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, memiliki kewenangan untuk menggalang dana dan sumber daya pendidikan, asalkan dilakukan secara sukarela, transparan, dan tidak memaksa.

Dalam konteks SMA Negeri 1 Luwu Utara, keputusan pengumpulan iuran justru lahir dari forum resmi komite—artinya sesuai semangat partisipasi masyarakat dalam pendidikan.

Sayangnya, praktik itu ditafsirkan lain. Regulasi yang seharusnya memberi ruang gotong royong justru menjadi jerat hukum yang menimpa pendidik.

Aparat bergerak cepat atas laporan pungli, tetapi negara lamban menjawab persoalan mendasar. Mengapa guru honorer bisa tidak digaji berbulan-bulan? Mengapa beban sistemik itu harus ditanggung individu yang mencoba mencari solusi?

Paradoks Penegakan Hukum

Kita sering mendengar jargon “penegakan hukum tanpa pandang bulu”, namun dalam kasus seperti ini, keadilan substantif justru tertinggal.

Abdul Muis dan Rasnal bukan pelaku kejahatan, melainkan korban dari sistem yang timpang. Mereka berusaha menutup celah kebijakan dengan empati, tetapi dibalas dengan sanksi pidana dan pemecatan.

Inilah wajah paradoksal birokrasi kita, yakni cepat menghukum, lambat memperbaiki. Negara lebih sigap menindak tindakan administratif di ruang kelas daripada menegur dirinya sendiri atas keterlambatan hak tenaga pendidik.

Kita menjadikan guru sebagai subjek hukum yang dituduh, bukan subjek perjuangan yang semestinya didukung.

Kasus ini juga menunjukkan betapa lemahnya pelindungan hukum terhadap guru.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang menjamin kedudukan, hak, dan perlindungan profesi guru. Namun implementasinya sering berhenti di atas kertas.

Tidak ada mekanisme yang efektif untuk melindungi guru ketika berhadapan dengan kriminalisasi akibat keputusan kolektif sekolah.

Lebih jauh, kasus Luwu Utara mengingatkan kita bahwa penegakan hukum di sektor pendidikan seharusnya menempatkan pendekatan keadilan restoratif sebagai pilihan utama, bukan penghukuman kaku yang mematikan semangat pengabdian.

Urgensi Rehabilitasi Kebijakan

Langkah Presiden Prabowo memberi rehabilitasi tentu patut diapresiasi. Namun pemulihan nama baik tidak cukup tanpa pemulihan sistem.

Rehabilitasi simbolik harus diikuti rehabilitasi kebijakan, mulai dari perbaikan tata kelola guru honorer, revisi pedoman komite sekolah, serta penguatan mekanisme koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat agar kesejahteraan guru tidak lagi bergantung pada kebaikan individu.

Negara harus hadir lebih konkret. Pertama, percepat pengangkatan guru honorer menjadi ASN/PPPK dengan skema yang lebih adil dan merata, terutama di daerah 3T.

Kedua, pastikan setiap daerah memiliki emergency fund untuk mengatasi keterlambatan honor guru honorer tanpa harus menunggu transfer pusat.

Ketiga, berikan perlindungan hukum bagi guru dan kepala sekolah yang bertindak dalam koridor kebijakan partisipatif dan gotong royong.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, kita tidak hanya sedang menegakkan hukum, tetapi juga menegakkan nurani kebangsaan yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar, bukan beban administratif.

Indonesia Emas 2045

Kita tentu sering mendengar slogan besar tentang Indonesia Emas 2045—sebuah visi ketika republik ini genap berusia satu abad dan diharapkan menjadi negara maju.

Namun bagaimana mungkin visi itu tercapai jika guru sebagai pilar utama peradaban bangsa, masih bergulat dengan ketidakpastian dan ketakutan?

Kita seolah berlomba membangun infrastruktur dan teknologi pendidikan, tetapi lupa membangun rasa adil di ruang kelas.

Negara boleh memiliki laboratorium canggih dan kurikulum modern, tetapi tanpa keadilan bagi guru, semuanya hanya menjadi retorika.

Bangsa yang besar tidak boleh mempermalukan gurunya. Negara yang ingin maju tidak boleh membiarkan guru menjadi korban dari kebijakan yang pincang.

Kasus Rasnal dan Abdul Muis adalah cermin sekaligus peringatan bagi kita semua di bangsa ini.

Bahwa di balik papan tulis dan ruang kelas sederhana di pelosok negeri, masih ada banyak guru yang berjuang sendirian demi anak-anak Indonesia.

Mereka tidak butuh belas kasihan, hanya butuh sistem yang adil dan negara yang berpihak. (*)

Advertisement