MAKASSAR||Legion-news.com Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui telah memanggil Liestiaty Fachruddin sebagai saksi atas kasus gratifikasi yang disangkakan terhadap suaminya, Gubernur Sulsel non aktif, Nurdin Abdullah (NA).
Pemanggilannya sebagai saksi terkait kasus suap perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkup Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021, sedianya dilakukan pada Senin (24/05/2021), di Mapolda Sulsel.
Namun hingga batas waktu pemeriksaan selesai, KPK hanya bisa memeriksa dua dari empat saksi yang dipanggil. Dua lainnya termasuk Liestiaty tak datang. Juru bicara KPK, Ali Fikri mengatakan dari empat saksi yang diperiksa hanya dua yang hadir memenuhi panggilan.
Ali Fikri mengatakan, Liestiaty telah mengkonfirmasi pihak KPK dan memilih menolak untuk menjadi saksi.
Sementara saksi lai yaitu pihak swasta bernama Idawati memilih tidak hadir tanpa memberi keterangan. “Liestiaty Fachruddi (Istri NA), tidak hadir dan mengkonfirmasi kepada Tim Penyidik dengan alasan menolak menjadi saksi” paparnya
Untuk itu pihak KPK meminta kedua untuk kooperatif dalam pemanggilan selanjutnya. “karenanya KPK menghimbau agar kooperatif memenuhi panggilan Tim Penyidik selanjutnya.” pungkasnya
Lalu, bagaimana sebenarnya jika seorang individu menolak memberikan keterangan sebagai saksi pada aparat penegak hukum.
Praktisi hukum dari Makassar, John Hardiansyah mengatakan
berdasarkan Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
“Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65 / PUU-VIII / 2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“Putusan MK 65 / PUU-VIII / 2010”) makna saksi itu telah sedikit berubah,” katanya ketika dikonfirmasi, Rabu 26 Mei 2021.
John mengurai, setelah pengujian di MK, saksi kini tak lagi orang yang dalam sebuah kasus ia dengar sendiri, ia lihat sendiri. “Dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1 ) huruf a KUHAP yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang sitem dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1 ) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan tindak pidana tindak pidana tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri,” kata John mengutip putusan MK itu.
Artinya, putusan MK tersebut menyatakan definisi tidak hanya orang yang ia lihat, dengar, alami itu sendiri, tetapi setiap orang yang memiliki pengetahuan yang terkait langsung tindak pidana wajib didengar sebagai keadilan demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang sesuai dengan tersangka / terdakwa.
Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP.
Kata aktivist Makassar Intelectual Law (MIL) ini, jika menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Yang mengancam bagi orang yang menolak sebagai diatur dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP.
“Barang siapa yang ditunjuk sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, dalam perkara lain, dengan penjara paling lama enam bulan,” tegasnya. (Red)