Jangan Rendahkan LGBTQ di Singapura

FOTO: Siswa Ashleigh Ng, 15, menari mengenakan bendera pelangi, selama pertunjukan konser di sebuah taman untuk acara kebanggaan gay tahunan Pink Dot pada hari Sabtu, 1 Juli 2017, di Singapura. (properti the diplomat)
FOTO: Siswa Ashleigh Ng, 15, menari mengenakan bendera pelangi, selama pertunjukan konser di sebuah taman untuk acara kebanggaan gay tahunan Pink Dot pada hari Sabtu, 1 Juli 2017, di Singapura. (properti the diplomat)

LEGIONNEWS.COM – NASIONAL, Di Singapura jangan coba-coba merendahkan atau membuat ujaran kebencian terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ).

Seperti yang terjadi terhadap seorang guru agama yang diduga membuat komentar merendahkan serta menuliskan ujaran kebencian terhadap anggota komunitas LGBTQ.

Bermula Sang ustadz, yang tidak disebutkan namanya, membuat unggahan Facebook mulai Desember 2021 hingga Februari 2022 yang menggunakan “bahasa tidak pantas dan menghasut yang dapat memicu kebencian dan rasa tidak hormat terhadap anggota komunitas LGBT+ di Singapura”, kata pernyataan itu.

Karena unggahan itu, dia dimintai penjelasan oleh Asatizah Recognition Board (ARB) dan postingannya itu kemudian dianggap melanggar kode etik.

Advertisement

Sang ustadz lalu diberi surat peringatan pada 13 Mei 2022, dan diperingatkan agar tidak menggunakan metode dakwah kontroversial yang dapat menumbuhkan kebencian dan rasa tidak hormat terhadap minoritas tertentu.

Meski demikian, sang ustadz terus melontarkan tuduhan, melalui komentar di media sosial, bahwa “para guru agama yang menentang LGBT+ diberikan surat peringatan.”

Meski demikian, mengutip Straits Times, pernyataan bersama antara MUIS dan Asatizah Recognition Board (ARB) yang dikeluarkan pada (6/8) membantah klaim ini. Mereka mengatakan surat peringatan yang dikeluarkan kepada sang ustadz berkaitan dengan sejumlah posting Facebook sebelumnya yang melanggar kode etik guru agama.

Kode etik ini mencakup ketentuan bahwa seorang guru Islam atau Alquran tidak boleh melakukan apa pun yang dapat menyebabkan kekacauan publik, atau menyebarkan ide apa pun yang dapat mendorong ekstremisme atau kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tetap saja, MUIS dan ARB mengatakan bahwa komentar tersebut “menyesatkan.”

“ARB memperingatkan dia, antara lain, bahwa dia tidak boleh menggunakan metode dakwah kontroversial yang dapat menimbulkan kebencian dan rasa tidak hormat terhadap kelompok (minoritas) tertentu di Singapura,” kata pernyataan bersama itu.

Pernyataan bersama yang dikeluarkan MUIS dan ARB menambahkan bahwa surat peringatan, seperti yang dikeluarkan dalam kasus ini, tidak diberikan secara sembarangan.

Pedoman agama MUIS tentang perkembangan LGBTQ di Singapura dikeluarkan pada 22 Agustus 2022. Pedoman ini secara eksplisit menyatakan bahwa pernikahan dalam Islam hanya dapat terjadi antara pria dan wanita, dan Islam melarang segala bentuk hubungan seksual sesama jenis.

Menurut MUIS dan ARB semua ustadz bebas menegaskan kembali sikap ini. Hanya saja, mereka harus mematuhi kode etik Asatizah Recognition Scheme (ARS).

ARB yang dibentuk oleh MUIS pada tahun 2004 dan mengakreditasi ustadz di Singapura mengatur ARS. Kode etik ini mencakup ketentuan bahwa seorang guru agama Islam tidak boleh melakukan apa pun yang dapat menyebabkan kekacauan publik atau menyebarkan paham apa pun yang cenderung mendorong ekstremisme atau kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Guru agama harus berhati-hati untuk menghindari tindakan yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan atau perasaan tidak enak terhadap orang lain karena keyakinan atau orientasi mereka,” kata pernyataan itu. (*)

Advertisement