Penulis Oleh: Moehar Sjahdi
Legion-news Bung Karno (1901-1970), presiden pertama Republik Indonesia itu, kerap menyapa sang Jago Tua dengan sapaan: Paman. Ia sekaligus adalah satu di antara guru Bung Karno sendiri, selain tentunya mendiang Haji Agus Salim (1884-1954), poliglot dari ranah Minang itu, atau sokoguru Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934).
Disebutkan dari berbagai sumber, di antaranya yang tertera pada sebuah pusara di Yogyakarta, bahwa sang Jago Tua asal Rohomony, Uli (kelompok; komunitas) Hatuhaha, Maluku Tengah itu, lahir pada 3 Juni 1889, dan wafat pada 8 Mei 1949. Lahir dengan nama asli Abdoel Moethalib Sangadji atau yang umumnya dikenal dengan sebutan A.M. Sangadji.
Mendapat julukan Jago Tua lantaran kiprah pergerakannya bersama kedua sahabatnya tersebut (baca: Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto) tatkala memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Ketiganya merupakan tokoh sentral Sarekat Islam (SI), sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi kemasyarakatan modern, tempat berhimpun kaum bumi putera kala itu.
Suluh Pergerakan Umat dan Bangsa
Kehidupan sebagai suluh pergerakan keumatan (kerakyatan) sekaligus kebangsaan semakin giat dilakoninya pada saat menjalankan amanah organisasi di SI. Hal demikian menandai betapa loyalnya ia sebagai kader organisasi di satu sisi, sekaligus mengemban tugas serta tanggung jawab keumatan serta kebangsaan itu sendiri di sisi yang lain. Hingga pada akhir hayatnya yang cukup tragis itu, ia justru meninggalkan jejak legasi serta menjadi suri tauladan yang baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini.
A.M. Sangadji adalah prototipe ulama pemikir-pejuang kemerdekaan yang telah mendedikasikan lebih dari separuh hidupnya demi cita-cita mencapai tatanan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur itu. Namun demikian, nama besarnya, ketokohannya di panggung sejarah negeri ini, masih terlampau jauh panggang dari api untuk diakui jika dibandingkan dengan kedua sahabat seperjuangannya itu. Jika kedua sahabat tersebut justru telanjur diakui secara resmi oleh negara sebagai para pahlawan nasional, maka seyogyanya hal yang sama persis juga mesti diberikan kepada mendiang A.M. Sangadji.
Mengenai kepeloporannya sebagai motor penggerak kehidupan berkebangsaan di Indonesia, telah sedari awal ia jalani sejak usia mudanya. Bergerak dari satu daerah ke daerah lain untuk berdakwah—mengedukasi rakyat, memberikan pendidikan politik kebangsaan—tentang betapa urgensinya membela serta mempertahankan bangsa dan tanah air dari cengkraman kaum penjajah, meskipun nyawa menjadi taruhannya. Kepeloporan sang Jago Tua, selain turut memiliki andil mendirikan, mengawal serta membesarkan SI bersama kedua sahabatnya pada saat itu, ia sekaligus adalah pendiri Balai Pengajaran dan Pendidikan Rakyat (BPPR) serta penggerak Neutrale School. Sebuah wadah pendidikan bagi kaum pribumi.
Kemudian selain aktif di pergerakan politik sebagai kader dan tokoh sentral PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), ia juga merupakan satu di antara yang berpartisipasi sebagai peserta dalam perhelatan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928.
Toh, Bung Karno, muridnya itu, pernah dengan lantang menegaskan bahwa: “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.”
Lantas, penghargaan seperti apa yang dimaksud Bung Karno itu, ketika harus ada (semacam) pengecualian untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional kepada satu dari ketiga orang sahabat yang notabene hidupnya sezaman, sehimpun, seorganisasi itu?
Menjadi Pahlawan Nasional?
Meskipun gayung baru saja bersambut, bahwa masih terpercik ikhtiar-ikhtiar kecil yang terus digalakkan, terutama oleh sanak saudara dari mendiang sendiri, pun melalui pemerintah setempat (baca: Maluku) hari-hari ini.
Tentunya hal demikian tak lain sekadar sebagai pemantik ingatan kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang besar terhadap sosok pejuang kemerdekaan dari Uli Hatuhaha ini.
Beberapa upaya yang telah dilakuakan oleh pemerintah daerah (pemda) Maluku tersebut, tentu menghendaki perhatian yang serius dari pemerintah pusat, dalam hal ini kementrian terkait sebelum akhirnya disampaikan secara resmi oleh yang mulia presiden Joko Widodo.
Sungguh akan menjadi sebuah keharuan yang mendalam, apabila kelak pada tiap 10 November—boleh jadi, di tahun 2021 ini atau paling telat 2022—nanti, masyarakat di negeri ini, setidaknya di Maluku akan terus mengenang A.M. Sangadji, sang Jago Tua itu, adalah seorang pahlawan nasional seperti halnya Pattimura, Nuku, atau Baabullah.
Oleh karenanya, tentu dibutuhkan lebih dari sekadar sebuah proses administratif untuk sampai kepada kepantasan atau keharusan sejarah ini. Kesadaran kolektif _(collective consiousness)_ masyarakat pada umumnya terkait perihal ini adalah sesuatu yang penting dan mendasar, selain pada political will pemerintah itu sendiri.
Sebagai salah satu organisasi serumpun SI, maka SEMMI (Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia) akan terus melakukan upaya-upaya konsolidatif, bekerjasama dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, demi percepatan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada mendiang A.M. Sangadji.