LEGIONNEWS.COM – JAKARTA, Mengatasnamakan petugas satuan pengamanan (satpam) Syamsul Jahidin mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Penjelasan pasalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Syamsul yang berprofesi sebagai satpam itu menguji Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon menilai frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dalam pasal penjelasan tersebut menimbulkan komersialisasi yang terjadi dalam pengelolaan pengamanan swakarsa dan tidak mengenal batasan dalam pengelolaannya.
“Ketentuan norma pasal a quo jelas telah digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan para pejabat Polri untuk menjadi pengusaha aktif terorganisir,” ujar Syamsul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 195/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta pada Rabu (29/10/2025).
Sebagai informasi, Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Polri berbunyi, “Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”. Kemudian bunyi Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Polri ialah, “Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan”.
Dia mengatakan berhak mendapatkan kepastian dan terhindar dari kapitalisme komersialisasi dalam menjalani profesinya sebagai satpam untuk kepastian mendapatkan penghidupan yang layak.
Pemohon yang juga berprofesi sebagai advokat mengaku memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan prinsip-prinsip hukum dijalankan.
Selain itu, Pemohon mengaku harus mengikuti pendidikan Gada Pratama atau pelatihan berbayar dengan biaya Rp 4 juta sebelum menjalani profesi satpam.
Adapun ketika Pemohon ingin naik status menjadi chief atau danru atau manajer harus menjalani pendidikan kualifikasi Gada Utama dengan biaya Rp 13,5 juta.
Biaya-biaya tersebut, menurut dia, tidak sejalan dengan imunitas kewenangan dan penghasilan sebagai satpam sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam proses kepastian hukum.
Dia mengatakan telah mendaftarkan diri ke Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) Pelatihan, sedangkan yang menyelenggarakan sebagai fasilitator serta ijazah satpam dan kartu tanda anggota (KTA) dikeluarkan Polri.
Dengan adanya pelatihan tersebut, menurut Pemohon, berpotensi dianulir para pejabat Polri karena berada dalam lingkup wewenangnya yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Polri.
Dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dan “pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri” Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon justru ingin Mahkamah agar memaknai pasal tersebut menjadi: “Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan.
Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam “lingkungan kuasa tempat” (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan.”
Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Dalam sesi penasihatan hakim konstitusi, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyoroti KTA milik Syamsul sudah habis masa berlaku pada 2021. Namun, Syamsul mengaku masih melakukan pekerjaan sebagai satpam. Arsul mengatakan profesi itu penting untuk ditegaskan Pemohon karena berkaitan dengan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan ini.
“Karena itu sedikit banyak akan menentukan apakah Pak Jahidin bukan sebagai advokat tetapi sebagai Pemohon lah yang memiliki legal standing atau tidak, jadi menurut saya perlu juga dilampirkan (bukti profesi satpam),” kata Arsul.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan harus diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 11 November 2025 pukul 12.00 WIB. (*)

























