Oleh : Muh. Asratillah Senge
“Makin Redup Idealisme dan Heroisme Pemuda, makin banyak korupsi” So Hok Gie
Soekarno menyebut bahwa Indonesia merupakan perwujudan dari sebuah der wille einheit, hasrat untuk bersatu. Hasrat seperti yang kita pahami, adalah sesuatu yang begitu “membakar” tapi rentan terpuruk pada ke-sia-sia-an. Sebagaimana Jean Paul Sartre yang melabeli manusia sebagai “hasrat yang sia-sia,” maka jika kita gagal mengelola kehidupan berbangsa, tak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi “hasrat untuk bersatu yang sia-sia”.
Tak ada “subjek yang pejal,” begitu kredo Posmodernisme. Maksudnya “subjek” tidak seperti yang diasumsikan oleh modernisme, bahwa subjek adalah sesuatu yang sepenuhnya otonom dan perkasa. Begitupula dengan “Negara” sebagai unit satuan politik dan sosial, senantiasa berada pada situasi yang “tak aman” sebab tak ada satupun negara bangsa di dunia ini yang berdaulat 100 %. Selalu ada ketergantungan dengan pihak luar, entah negara lain, NGO Internasional, Lembaga donatur internasional maupun perusahaan-perushaan trans-nasional.
Namun demikian menurut Bob Lowry seperti yang dikutip oleh A. Bagus Laksana dalam Bayang-bayang Indonesia Bubar ( Majalah Basis, Nomor 05-06, Tahun 2018), Indonesia sebagai negara yang rapuh (fragile), adalah asumsi umum dalam analisis luar negeri mengenai Indonesia. Dalam A Short History of Indonesia : An Unlikely State ? (2003), menyimpulkan bahwa Indonesia akan bertahan karena “ke-Indonesia-an” yang dialami oleh rakyat Indonesia selama lima puluh tahun ternyata lebih kuat daripada kemarahan mereka akan rezim Orde Baru yang mengeksploitasi atas nama negara.
Robert Rotberg memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara yang selalu memiliki kemungkinan gagal (failing). Negara yang gagal selalu didera oleh konflik komunal yang hebat. Tapi konflik komunal, yang dipicu oleh sentimental primordial bukanlah faktor utama tapi hanyalah faktor kontributif bagi gagal tidaknya sebuah negara. Ada banyak faktor lain yang menyebabkan negara gagal, dan salah satu faktor yang sangat penting adalah korupsi, di negara gagal korupsi mengalami tumbuh kembang yang luar biasa dan menjadi destruktif, seringkali disebut dengan istilah venal corruption. Dan di esai ini, barangkali tidak usahlah saya menyebutkan angka-angka bombastis, sejumlah elit atau pejabat negara yang terjerat tindak pidana korupsi.
Saya seringkali mendengarkan pertanyaan lugu, dari orang-orang di pedesaan, yang redaksinya kurang lebih seperti ini, “apa yang mendorong para pejabat korupsi ?”, “mereka kan sudah pejabat ?, cukup harta dan kekuasaan ?, apakah mereka tak merasa puas ? sehingga mereka melakukan korupsi ?”. Jawaban simple bagi pertanyaan yang nampaknya sederhana itu, seringkali menggunakan retorika teologis “mereka korupsi, karena mereka kurang ber-iman”. Walaupun jawaban tersebut terdengar sebagai jawaban pamungkas, tapi tak sepenuhnya membantu kita memahami motif para pelaku tindak pidana korupsi, karena korupsi tidak hanya berkaitan dengan etika pribadi tapi juga etika publik, kata Haryatmoko.
Apatah lagi, kita seringkali mengalami “bias hukum” dalam memahami korupsi, kata B. Herry Priyono dalam Korupsi (2018). Bahwa pada penentuan suatu perbuatan/praktik sebagai korupsi atau bukan sejauh ditetapkan atau tidak ditetapkan oleh hukum. Selain itu kitapun mengalami “bias negara” dan “bias ekonomi” dalam menjelaskan korupsi. Maksudnya “publik” kita samakan begitu saja dengan “negara”, sehingga kerugian yang dialami oleh “publik” kita identikkan dengan kerugian yang dialami oleh “negara”, dan kerugian tersebut juga seringkali didentikkan dengan “kerugian keuangan negara”.
Saya lalu teringat dengan salah seorang filsuf kontroversial asal Prancis, Marquis De Sade (1740). Ia mewartakan, bahwa manusia sesungguhnya memendam “hasrat untuk menyimpang” dalam dirinya, manusia secara diam-diam menggandrungi kenikmatan-kenikmatan yang menyimpang (perverse pleasure). Kenikmatan yang dimaksud oleh De Sade bukanlah yang berujung happy belaka, tapi kenikmatan yang menyimpang adalah kenikmatan yang mengikutsertakan rasa sakit, rahasia, takut dan tantangan di dalamnya. Maka De Sade berpendapat bahwa, bukanlah hal yang aneh jika melihat seorang tokoh publik bahkan tokoh agama melakukan atau melanggar segala hal yang dia khotbahkan dihadapan khalayak.
Apa yang dikatakan oleh De Sade sedikit banyaknya punya kaitan dengan arti etimologis “korupsi”. B. Herry Priyono mengatakan bahwa kata korupsi cukup pasti berasal dari bahasa Latin. Sebagai kata benda berasal dari kata Corruptio yang berarti “hal merusak”, “hal membuat busuk”, “pembusukan”, “penyuapan”, “kerusakan”, “kebusukan dan “kemerosotan”. Filsuf Jeremy Bentham, menulis bahwa “istilah korupsi dahulu dipakai dalam arti fisik, lalu dari situ digunakan dalam arti moral. Contoh misalnya penjual bensin yang mencampurkan minyak tanah ke dalam bensin disebut sebagai orang yang mengkorupsi kemurnian bensin. Dalam artian moral korupsi menurut Oxford English Dictionary adalah “penyelewengan atau penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui suap dan hadiah; keberadaan dan pemakaian praktik-praktik curang, terutama dalam suatu negara, badan/usaha publik dan semacamnya; proses menjadi busuk secara moral; fakta atau kondisi busuk; kemorosotan atau kebusukan moral; kebejatan.” Intinya korupsi adalah soal kemorosotan dan peyimpangan.
Lalu, korupsi tidak hanya jahat tapi juga banal. Kejahatan itu banal kata Hannah Arendt. Kejahatan dilakukan secara massif (termasuk dalam hal ini korupsi) dilakukan karena telah dianggap wajar dalam sebuah struktur sosial. Walaupun dalam ruang publik kita mengutuk tindak tanduk korupsi, bahkan mengetahui dengan pasti rekan-rekan kita yang telah/sedang melakukan korupsi, tapi kita tetap bersikap/turut serta dalm korupsi sebagai sesuatu yang wajar, kita pun berusaha bersikap seolah-olah tidak tahu soal kejahatan korupsi yang sedang berlangsung di sekitar kita. Petter Forsberg dan Kristofer dalam Ephemera :Theory and Politics in Organization (2015) menemukan tentang luasnya penggunaan metafor virus dalam literatur korupsi (misalnya korupsi sebagai kanker) yang mengungkapkan dua hal. Pertama, ciri korupsi yang tersembunyi, destruktif, infektif bagi organisasi dan hidup kelompok. Kedua , ciri korupsi yang menyebar dan beranak pinak.
Lalu, apa yang bisa menjadikan Indonesia menjadi negara gagal ? Rotberg mengatakan ada dua dinamika ekonomi politik yang memungkinkannya. Pertama , konflik antar warga, akibat perebutan kuasa dalam struktur dan lembaga negara. Kedua, kelemahan negara serta pelemahan demokrasi berkepanjangan yang berujung pada tidak berfungsi optimalnya aparatus negara. Untuk dinamika pertama, Indonesia memiliki pengalaman yang cukup panjang. Yang jauh lebih penting adalah dinamika kedua, dimana kelemahan negara dan pelemahan demokrasi disebabkan oleh dua hal pula, yaitu korupsi dalam skala besar (grand corruption) yang menginfeksi lembaga-lembaga negara serta perselingkuhan kuasa politik dan kapital yang melahirkan oligarki. Dan “titik bahaya dari korupsi tak cuma dilihat dari persentase kebocoran uang, tapi juga dari menipisnya kepercayaan kepada bersihnya aparatur negara secara kesuluruhan”, ungkap Goenawan Mohamad.