Imbas Putusan MK, Pilkada Mundur 2031, Plt Kepala Daerah 2 Tahun? ini Pendapat Pengamat Politik

FOTO: Arief Wicaksono saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat diruang rapat Banggar DPRD kota Makassar.
FOTO: Arief Wicaksono saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat diruang rapat Banggar DPRD kota Makassar.

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Paskah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan berlangsung mundur yang sejatinya berlangsung di 2029 bakal mundur ke 2031 mendatang.

Hal itu merupakan implikasi dari Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan pemisahan waktu pemilu di tingkat nasional dengan daerah.

Pengamat politik dari Universitas Bosowa, Arief Wicaksono mengatakan putusan MK itu akan bermuara pada satu hal pokok, yaitu transisi kekuasaan politik, terutama di daerah.

“Menurut pandangan saya, putusan MK ini akan bermuara pada satu hal pokok, yaitu transisi kekuasaan politik, terutama di daerah,” ujar Arief Wicaksono. Jumat (27/6)

Katanya, Meskipun di satu sisi MK menyarankan solusi “constitutional engineering”, tetapi pada saat yang sama di sisi yang lain, MK menyerahkan perumusan masa transisi kekuasaan politik di daerah ini, ke DPR-RI dan Pemerintah Pusat.

Arief Wicaksono lalu mengurai skenario ini menghasilkan imajinasi tentang beberapa kemungkinan yaitu,

PERTAMA, Kemungkinan ada penambahan masa jabatan bagi para pejabat di daerah,

KEDUA, Kemungkinan adanya Penjabat (Pj) atau Pelaksana Tugas (Plt) yang diangkat dari dalam lingkup Pemerintahan Daerah sendiri, atau minimal yang telah disetujui oleh Kemendagri,

KETIGA, Kemungkinan adanya Penjabat (Pj) atau Pelaksana Tugas (Plt) yang diangkat dari luar lingkup pemerintahan sipil, misalnya dari unsur militer.

“Dan mungkin saja ada imajinasi lain yang secara teknis legal drafting memenuhi syarat pembentukan perundang-undangan, tetapi bisa saja tidak memenuhi syarat atau prinsip perumusan norma peralihan (kekuasaan) atau transisional seperti yang menjadi bahan pertimbangan MK. Bisa jadi ia akan lebih kental bersifat politis,” imbuh Doktor dibidang ilmu komunikasi politik ini.

Mahkamah Konstitusi

MK menyatakan pemilu baik pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan legislatif (pileg) untuk DPRD di tingkat daerah selanjutnya diselenggarakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan setelah pemilu nasional rampung.

Dengan Pemilu nasional yang kini terjadwal digelar 2029, maka pemilu tingkat daerah baru bisa digelar 2031.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pemilu selanjutnya yang dijadwalkan pada 2029 merupakan masa transisi. Khususnya, bagi pasangan kepala daerah yang terpilih pada 27 November 2024 dan anggota DPRD hasil Pemilu pada 14 Februari 2024 lalu.

MK menyatakan masa peralihan ini memiliki sejumlah implikasi, namun menyerahkan perumusan masa transisi ini menyerahkannya ke pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pemilu selanjutnya yang dijadwalkan pada 2029 merupakan masa transisi. Khususnya, bagi pasangan kepala daerah yang terpilih pada 27 November 2024 dan anggota DPRD hasil Pemilu pada 14 Februari 2024 lalu.

MK menyatakan masa peralihan ini memiliki sejumlah implikasi, namun menyerahkan perumusan masa transisi ini menyerahkannya ke pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah.

“Dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional,” bunyi pertimbangan hukum MK pada halaman 143.

Dalam pertimbangan hukum poin [3.18.2] MK menyatakan penyelenggaraan pemilu tingkat nasional dilaksanakan terpisah dengan di tingkat lokal untuk pertama kali ialah pada 2029 mendatang.

“Untuk pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan umum gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.18.1],” bunyi pertimbangan hukum MK.

Mengacu pada pertimbangan hukum [3.18.1] itu, MK memerintahkan pemilu lokal baru dapat digelar saat tahapan pemilu di tingkat nasional dinyatakan berakhir.

Dalam hal ini, MK menyatakan penghitungan waktu itu dimulai sejak waktu pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau pelantikan presiden/wakil presiden.

Majelis hakim konstitusi menyatakan pelantikan itu merupakan akhir dari tahapan pemilihan umum sebelumnya.

Setelahnya, MK pun mengatur bahwa pemungutan suara di tingkat lokal baru dapat digelar paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun 6 bulan sejak pelantikan di tingkat nasional (DPR, DPD, dan Presiden).

Menurut MK, agenda pemilu nasional dan lokal pada tahun yang sama menyebabkan berbagai permasalahan, termasuk di antaranya pelemahan terhadap pelembagaan partai politik karena kurangnya waktu bagi parpol menyiapkan kader untuk berlaga dalam setiap jenjang pemilu.

Selain itu, MK juga menilai penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional dalam waktu yang berdekatan menyebabkan pemilih jenuh. Fokus pemilih bahkan terpecah di tempat pemungutan suara karena banyaknya surat suara yang harus dicoblos.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan putusan MK itu akan menjadi bahan bagi revisi Undang-Undang Pemilu yang akan bergulir.

Menurut dia, pihaknya pun harus mencari cara dan formula yang paling tepat untuk menghadirkan pemilu nasional dan lokal, karena politik hukum nasional menjadi kewenangan konstitusional Komisi II DPR.

“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” kata Rifqinizamy di Jakarta, Kamis, seperti dikutip dari Antara.

Jika putusan itu diterapkan, dia menilai pemilu yang akan digelar selanjutnya yakni pemilu nasional pada tahun 2029 dan pemilu lokal pada tahun 2031. Maka, dia mengatakan bahwa jabatan-jabatan di tingkat lokal perlu ada transisi.

“Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi,” kata dia.

Menurut dia, penunjukan pelaksana tugas atau pejabat sementara bisa dilakukan terhadap jabatan eksekutif seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai jabatan legislatif.

“Untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” kata dia.

Untuk itu, dia mengatakan bahwa hal-hal tersebut akan menjadi dinamika dalam perumusan revisi UU Pemilu. Dia mengatakan bahwa Komisi II DPR RI masih menunggu arahan dan keputusan Pimpinan DPR RI untuk bisa membahas RUU tersebut. (LN/Antara)

Advertisement