LEGIONNEWS.COM – Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengatakan sejumlah faktor struktural dan kebijakan yang saling terkait menjadi penyebab utama dibalik fenomena naiknya harga beras di tengah banjirnya cadangan beras milik Perum Bulog.
Menurut Eliza, kebijakan pemerintah yang menaikkan harga gabah kering panen (GKP) menjadi Rp6.500 per kg jadi titik awal.
Kebijakan ini dinilai bertujuan mulia, yakni meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga keberlanjutan produksi pangan.
Benar saja, efeknya cukup positif, tercermin dari membaiknya Nilai Tukar Petani (NTP) pangan yang naik dari 106,2 (Juni 2024) menjadi 109,24 (Juni 2025). Artinya, pendapatan petani dari hasil panen relatif lebih tinggi dibandingkan biaya produksinya.
“Jika harga gabah tidak disesuaikan, petani kita yang jadi korban, kesejahteraan mereka dipertaruhkan. Jika sektor pangan tidak menjanjikan kesejahteraan, maka akan sulit bagi pemerintah untuk bisa meningkatkan produksi karena petani mengalami demotivasi kalau usaha taninya merugi,” ujar Eliza dikutip dari CNNIndonesia.com.
Namun, kebijakan ini juga dinilai berdampak langsung pada struktur biaya di sisi industri penggilingan dan distribusi. Untuk menjaga margin keuntungan, pelaku usaha terpaksa menyesuaikan harga jual beras di tingkat konsumen.
Menurutnya, di sinilah titik awal kenaikan harga beras dimulai, terutama pada beras medium yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Jadi kenaikan harga ini karena ada penyesuaian harga bahan baku (gabah), meski dari sisi supply bertambah jika dibandingkan dengan 2024 kemarin, karena 2024 itu kan kena El Nino,” jelasnya.
Kedua, penyebab harga beras mahal adalah struktur pasar yang tidak efisien yakni rantai pasok yang terlalu panjang. Panjangnya rantai distribusi membuat petani yang skala produksinya kecil dan tidak terorganisir dalam kelompok atau koperasi, masih sangat tergantung pada tengkulak.
Eliza menyebutkan sudah pasti tengkulak ini mengambil margin saat menjual ke pedagang besar atau penggilingan yang selanjutnya mendistribusikan ke pengecer juga mengambil untung.
Akumulasi biaya ini lah yang dinilai membuat harga semakin mahal karena akhirnya dibebankan kepada konsumen.
Ketiga, Eliza mengatakan kesenjangan antara penggilingan kecil dan korporasi besar juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Dalam situasi saat ini, penggilingan besar lebih unggul karena memiliki kekuatan modal dan teknologi untuk menyerap gabah dalam jumlah besar.
Dalam sistem seperti ini, pemain pasar dengan stok terbesar memiliki pengaruh dominan dalam pembentukan harga. Sayangnya, bukan Bulog yang memegang kendali, melainkan distributor besar, penggilingan swasta, dan bandar beras.
“Karena harga ini ditentukan oleh yang mengendalikan stok terbanyak. Dalam hal ini berarti middleman alias bandar atau distributor yang menentukan harga,” terangnya.
Eliza menyebutkan untuk bisa menekan biaya produksi, akan sangat baik apabila petani tergabung dalam koperasi dan memiliki unit penggilingan sendiri (rice milling unit). Sebab, mereka bisa menjual langsung dalam bentuk beras dengan nilai tambah lebih tinggi dan rantai distribusi yang lebih pendek.
Selain itu, memastikan harga sewa lahan tidak naik signifikan juga menjadi penentu untuk mengurangi biaya produksi para petani.
“Salah satunya adalah dengan cara mekanisasi di sektor pertanian dan harga sewa lahan pertanian yang kenaikannya wajar. Selain menekan dari sisi biaya produksi, juga produktivitasnya ditingkatkan sehingga secara volume akan bertambah meski keuntungan kecil,” imbuhnya. (*)