LEGION NEWS.COM – Pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan kebijakan menaikkan harga elpiji nonsubsidi oleh Pertamina dapat mengurangi beban negara.
“Di tengah harga minyak dunia yang meroket, upaya Pertamina menaikkan harga elpiji merupakan langkah tepat untuk mengurang beban APBN,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Minggu.
Fahmy menyampaikan bahwa penetapan harga elpiji harus didasarkan atas mekanisme pasar, sehingga Pertamina menjual elpiji sesuai harga keekonomian.
Menurutnya, apabila Pertamina menjual elpiji di bawah harga keekonomian, maka pemerintah harus mengganti dengan dana kompensasi yang dapat semakin memberatkan APBN.
Kementerian ESDM menyatakan kenaikan harga minyak dunia akibat ketegangan geopolitik Rusia dengan Ukraina telah berdampak terhadap beban subsidi, terutama produk BBM dan elpiji yang nilai subsidinya bisa melebihi asumsi APBN 2022.
Setiap kenaikan satu dolar AS per barel berdampak kepada kenaikan subsidi elpiji sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun.
Dalam postur APBN 2022, nilai subsidi BBM dan elpiji tiga kilogram mencapai Rp77,5 triliun. Namun, penetapan angka subsidi itu dilakukan saat harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih berada pada angka 63 dolar AS per barel, sementara harga minyak dunia sempat menembus 100 dolar AS per barel pada perdagangan pekan ini.
Menyikapi kondisi pasar, Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga hari ini lantas menaikkan harga elpiji non subsidi untuk menyesuaikan dengan harga minyak dan gas bumi di pasar global.
Penyesuaian harga hanya berlaku untuk elpiji non subsidi, seperti Bright Gas atau sekitar 6,7 persen dari total konsumsi elpiji nasional per Januari 2022 ini.
Perseroan menyatakan harga kontrak Aramco (CPA) kini mencapai 775 dolar AS per metrik ton atau naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun lalu.
Dengan adanya penyesuaian harga tersebut, maka harga elpiji non subsidi yang berlaku saat ini Rp15.500 per kilogram.
Pertamina mengklaim telah mempertimbangkan kondisi penyesuaian harga serta kemampuan pasar elpiji non subsidi. Harga itu dinilai masih kompetitif dibandingkan harga elpiji di berbagai negara di Asia Tenggara.
Adapun harga elpiji subsidi ukuran tiga kilogram tidak ada perubahan. Saat ini, porsi konsumsi elpiji tiga kilogram mencapai 93 persen dari keseluruhan konsumen elpiji Pertamina.
Harga elpiji tiga kilogram tetap mengacu kepada harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Lebih lanjut Fahmy menyarankan agar Pertamina mengubah skema subsidi elpiji ukuran tiga kilogram dari distribusi terbuka menjadi tertutup guna menekan subsidi elpiji yang tidak tepat sasaran.
Ia juga meminta Pertamina untuk menaikkan harga BBM non-subsidi, seperti Pertamax ke atas agar beban keuangan perseroan berkurang, tapi jangan menaikkan harga Pertalite. (Sumber: Antara)