Guru Gembul versus Ustadz Nuruddin: Pentingnya Berbicara Sesuai Kapasitas

FOTO: Kolase Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin (Via Kabarterkini24)
FOTO: Kolase Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin (Via Kabarterkini24)

PENULIS: Muhammad Nur
Jurusan : Bahasa dan Sastra Arab
Mahasiswa: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Baru-baru ini, dunia maya digemparkan oleh sosok Guru Gembul, seorang guru mata pelajaran PKN dan sejarah di salah satu sekolah di Bandung, yang menjadi viral di media sosial terutama karena konten-kontennya di platform YouTube.

Guru Gembul ini dikenal aktif berbicara tentang berbagai topik yang sangat luas mulai dari ilmu agama, sejarah, sains, hingga filsafat. Meski topik-topik tersebut memiliki cakupan yang kompleks dan mendalam, Guru Gembul kerap kali mengangkatnya dengan cara yang terkesan asal-asalan dan tanpa dukungan referensi yang memadai. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah ia sebenarnya berbicara di luar kapasitasnya sebagai seorang guru PKN dan sejarah?

Pada tahun 2023, Guru Gembul menuai kontroversi setelah mengkritik pendidikan di Indonesia dalam gelar wicara di BTV. Lima aktivis pendidikan melayangkan somasi karena menilai kritiknya terhadap kompetensi guru melecehkan profesi tersebut.

Advertisement

Guru Gembul kemudian mengklarifikasi bahwa kritiknya ditujukan pada Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK), bukan pada individu guru. Masalah ini akhirnya diselesaikan dengan damai.

Di tahun 2024, Guru Gembul kembali memicu kontroversi dengan menyatakan bahwa sistem indrawi manusia tidak layak menjadi sumber informasi terpercaya. Pernyataan ini ditanggapi oleh Abdul Muin Banyal, yang menegaskan bahwa meski indra manusia terbatas, keterbatasan ini justru mendorong inovasi dalam menciptakan alat bantu untuk memperluas kemampuan indra, yang tetap mengandalkan observasi manusia. Bukan berarti indra manusia tidak dapat dijadikan sumber informasi

Belakangan ini, Guru Gembul juga terlibat dalam kontroversi dengan beberapa habib atau habaib terkait masalah nasab Ba’alawi—sebuah topik yang cukup sensitif dalam diskursus Islam. Kemudian baru-baru ini, dalam pernyataannya, Guru Gembul menantang publik dengan argumen bahwa akidah tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Tantangan ini mendapat tanggapan dari Ustadz Nuruddin, seorang tokoh yang memiliki latar belakang ilmu agama yang mumpuni. Ustadz Nuruddin akhirnya mengundang Guru Gembul untuk berdebat secara langsung mengenai topik yang dia lontarkan.

Namun, ketika debat antara keduanya berlangsung, Guru Gembul tampak tidak siap menghadapi hujan referensi dan dalil yang dibawakan oleh Ustadz Nuruddin.

Alih-alih merespons dengan argumen yang terstruktur dan berbasis ilmu, Guru Gembul lebih banyak membahas hal-hal di luar topik debat, mengalihkan pembicaraan, dan bahkan tidak menghormati moderator yang bertugas menjaga kelancaran diskusi.

Gaya berbicaranya yang terkesan asal, tanpa dasar yang kuat, serta kurangnya referensi ilmiah yang mendukung pernyataannya, semakin memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki pemahaman mendalam mengenai topik yang sedang dibahas.

Debat ini menjadi contoh yang jelas tentang pentingnya berbicara sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki. Guru Gembul, dengan latar belakang sebagai seorang guru PKN dan sejarah, tentunya memiliki keahlian dalam bidang tersebut.

Namun, ketika ia mencoba membahas topik yang berada di luar bidang keahliannya, seperti akidah dan nasab dalam Islam, tanpa dasar ilmu yang kuat atau referensi yang memadai, hasilnya adalah pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inilah yang menyebabkan perdebatan tersebut menjadi tidak produktif dan tidak menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat.

Peran seorang guru atau pendidik seharusnya menjadi teladan dalam berbicara dan berargumen berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya, Guru Gembul tidak hanya mengabaikan hal ini tetapi juga cenderung memaksakan opininya tanpa memberikan ruang untuk dialog yang sehat dan ilmiah.

Sebaliknya, Ustadz Nuruddin dalam perdebatan tersebut tetap berpegang pada data, referensi, dan argumen yang logis, meskipun upayanya untuk menjelaskan sering kali terganggu oleh respons yang tidak relevan dari lawan debatnya.

Kontroversi ini menggarisbawahi pentingnya bagi setiap individu untuk berbicara sesuai dengan kapasitasnya, terutama ketika mengangkat topik yang berhubungan dengan ilmu agama atau hal-hal yang memerlukan pemahaman mendalam dan kajian yang serius.

Dalam dunia akademis maupun kehidupan sehari-hari, adalah hal yang bijak untuk mengakui keterbatasan diri dan menyerahkan pembahasan topik-topik tertentu kepada mereka yang benar-benar ahli di bidangnya.

Berbicara tanpa kapasitas yang memadai tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat menyesatkan orang lain yang mungkin mempercayai informasi yang disampaikan. Ketika seseorang dengan kepercayaan diri yang tinggi menyampaikan argumen yang tidak didasari ilmu atau referensi yang tepat, dampaknya bisa memicu kebingungan bahkan kesalahpahaman di kalangan publik.

Oleh karena itu, permasalahan ini seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi kita semua tentang pentingnya berbicara sesuai dengan kapasitas kita. Menghargai ilmu pengetahuan, bersedia belajar dari orang-orang yang lebih ahli, serta selalu mencari referensi yang tepat adalah kunci untuk memastikan diskusi atau perdebatan yang sehat dan produktif.

Mari kita jadikan momen ini sebagai pengingat untuk tidak terjebak dalam fanatisme opinional tanpa dasar dan selalu berusaha untuk berbicara dengan landasan yang kokoh.

Advertisement