Guru Dipuji Setahun Sekali, Dipersoalkan Setiap Hari: Potret Bangsa yang Mulai Kehilangan Arah Pendidikan

0
FOTO: Seorang Guru sedang mengajar di depan kelas. (Properti: Republika.com)
FOTO: Seorang Guru sedang mengajar di depan kelas. (Properti: Republika.com)

Oleh Makmur Idrus

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Peringatan Hari Guru selalu meriah di permukaan—spanduk digantung, pidato dibacakan, dan karangan bunga berjejer rapi. Namun setelah lampu acara dimatikan, guru kembali pada realitas yang jauh dari panggung: menjalankan tugas berat mendidik dan mengajar di tengah masyarakat yang semakin sensitif tapi semakin kurang memahami makna pendidikan.

Mengajar itu mentransfer ilmu, tetapi mendidik itu membangun manusia. Dua kata yang sering disamakan, padahal jaraknya seperti antara membaca halaman dan memahami isi kitab. Guru dan kiyai menjalankan keduanya sekaligus, tanpa fasilitas berlebih, tanpa perlindungan memadai, tanpa janji-janji politik yang benar-benar ditepati.

Dulu, guru dihormati bukan karena pangkat, tetapi karena kepercayaan. Ketika seorang murid dihukum ringan entah dipukul penggaris karena lupa potong kuku atau dijewer karena bandel—orang tua tidak mengamuk. Mereka tahu itu bagian dari proses pembentukan karakter. Sekarang? Koreksi sedikit saja bisa berakhir di kantor polisi. Guru dipaksa mengajar tanpa keberanian mendidik, padahal karakter tidak pernah lahir dari zona nyaman.

Kiyai di pesantren bahkan menghadapi beban moral yang lebih besar: membimbing akhlak, mental, dan spiritual generasi. Banyak di antara mereka hidup dengan honor yang hanya cukup untuk menyalakan lampu dan merebus air, tetapi tetap bertahan karena yang mereka kejar bukan materi, melainkan masa depan anak bangsa.

Ironi kita hari ini: bangsa ini bisa melahirkan presiden, gubernur, jenderal, profesor, hakim, dan jaksa—tetapi lupa bahwa semuanya bermula dari seseorang yang berdiri di depan kelas dengan spidol yang selesai lebih cepat daripada gajinya.

Lebih menyesakkan lagi, guru dan kiyai sering jadi sasaran tuduhan ketika menjalankan fungsi pendidikan. Mereka tidak pernah meminta gelar pahlawan, tetapi bukti bahwa bangsa ini mengerti apa itu martabat profesi pendidik.

Jika kita terus mencurigai guru saat mendidik, dan hanya memuji mereka ketika upacara, bangsa ini akan tumbuh pintar secara kognitif tetapi miskin karakter. Dan sejarah selalu mengingatkan: kehancuran dimulai bukan dari kurangnya kecerdasan, tetapi dari runtuhnya integritas.

Hari Guru seharusnya bukan sekadar peringatan, tetapi seruan untuk mengembalikan wibawa mereka. Karena masa depan negeri ini tidak ditentukan oleh siapa yang paling lantang berdebat, tetapi oleh siapa yang paling sabar mendidik.

Advertisement