FRAMAG Desak Polda Sulsel Netral dan TNI Ditarik dari Lahan Sengketa Fatimah Kalla vs PT GMTD

0
FOTO: Front Rakyat Anti Mafia Agraria (FRAMAG) Kota Makassar saat menggelar aksi unjuk rasa di Mapolda Sulsel. Senin (6/10)
FOTO: Front Rakyat Anti Mafia Agraria (FRAMAG) Kota Makassar saat menggelar aksi unjuk rasa di Mapolda Sulsel. Senin (6/10)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Front Rakyat Anti Mafia Agraria (FRAMAG) Kota Makassar menegaskan sikap tegas terhadap kasus sengketa lahan antara Fatimah Kalla dan PT GMTD Tbk. Sengketa yang kini ramai diperbincangkan publik itu dinilai telah menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya setelah munculnya keterlibatan aparat bersenjata yang berjaga di lokasi. FRAMAG menilai, langkah tersebut telah keluar dari koridor hukum dan merusak prinsip netralitas aparat dalam perkara perdata.

Menurut telaah hukum FRAMAG, dasar kepemilikan atas lahan tersebut masih menyimpan persoalan serius. Surat Kantor Pertanahan Kota Makassar tertanggal 29 Februari 2024 menyebut adanya overlapping atau tumpang tindih sertifikat atas bidang tanah hasil ruislag (tukar guling) tahun 2015. Kondisi ini, menurut FRAMAG, menegaskan perlunya klarifikasi resmi dari BPN untuk memastikan keabsahan objek yang menjadi sumber sengketa.

Ketua Umum Kiwal Garuda Hitam, Erwin Nurdin SE, menyebut kehadiran aparat bersenjata di tengah sengketa sipil adalah bentuk penyimpangan serius dari prinsip keadilan agraria.
Menurutnya, “Rakyat tidak boleh kalah menghadapi kekuatan modal yang berlindung di balik kekuasaan. Bila Polda Sulsel tidak segera bersikap tegas dalam waktu 1×24 jam untuk mengosongkan lahan dari oknum bersenjata, maka FRAMAG dan seluruh elemen rakyat siap turun langsung menuntut keadilan. Negara tidak boleh tunduk pada korporasi.”

Hal senada disampaikan Nasrun Macja SH, alias Dg Accunk, Ketua Umum Relawan Jakarta, yang menegaskan bahwa TNI harus ditarik dari lokasi karena tidak memiliki kewenangan dalam urusan perdata.

“Ini ranah hukum sipil, bukan pertahanan negara. Keterlibatan aparat militer di wilayah sengketa adalah pelanggaran terhadap prinsip netralitas TNI. Kami mendesak Pangdam XIV Hasanuddin untuk memanggil dan memeriksa semua personel yang terlibat. Jangan jadikan TNI alat tekanan bagi rakyat,” tegas Nasrun.

Sementara itu, Illank Radjab SH, Ketua Umum LASKAR (Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat), menyoroti kelemahan administratif dalam proses tukar guling yang menjadi dasar kepemilikan lahan. Ia menilai BPN harus segera membuka data secara transparan agar tidak menjadi celah bagi kepentingan tertentu.

“Surat BPN tanggal 29 Februari 2024 sudah cukup menjadi dasar bahwa ada kekeliruan dalam administrasi pertanahan. Sebelum pengadilan memutuskan sah atau tidaknya proses ruislag, tidak boleh ada pihak yang melakukan penguasaan fisik. Ini soal keadilan dan kedaulatan rakyat atas tanah,” jelasnya.

FRAMAG bersama seluruh elemen pendukungnya menyerukan agar Polda Sulawesi Selatan segera mengambil tindakan konkret. Jika dalam waktu 1×24 jam tidak ada langkah tegas untuk mengosongkan lahan dari keberadaan aparat bersenjata, maka masyarakat akan menyatakan perang terhadap segala bentuk intervensi bersenjata di tanah sengketa.

“Rakyat hanya menuntut keadilan. Kami menolak segala bentuk intimidasi di atas tanah yang belum memiliki kepastian hukum,” tutup FRAMAG dalam pernyataan orasinya. (*)

Advertisement