Fraksi PSI Minta Penjelasan Peruntukan Tanah Munjul dan Fee Formula E ke Gubernur DKI Jakarta

0
Dibacakan oleh: Anthony Winza Probowo, SH, LL.M. Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI Jakarta. Selasa,

JAKARTA, Legion-news Pandangan Umum Fraksi Partai Solidaritas Indonesia Terhadap, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2020 dan Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Tahun 2017-2022
dibacakan oleh:Anthony Winza Probowo, SH, LL.M.

Yang Pertama tentang Keterbukaan Anggaran Penanganan Covid-19
Kita ingat bahwa pada tahun 2020, Pemprov DKI memiliki dana BTT hasil refocusing sebesar Rp 5,52 triliun yang realisasinya menghabiskan Rp 918 miliar untuk sektor kesehatan dan Rp 3,78T untuk jaring pengaman sosial (atau social safety net). Namun hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai detail alokasi dan penggunaan dana BTT tersebut, sehingga fungsi pengawasan DPRD tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya untuk mengawasi apakah penggunaan dana tersebut sudah tepat sasaran.

Terutama terkait dengan alokasi BTT untuk kesehatan, kami melihat bahwa kapasitas Labkesda masih belum banyak peningkatan dari tahun lalu.

Saat ini, Labkesda hanya mampu mengakomodir 30% kebutuhan testing harian, dan positivity rate pekan ini masih di atas 15%, padahal standar positivity rate WHO berada di angka 5%. Hal ini menjadi bukti bahwa belum ada fokus penganggaran BTT pada program peningkatan kapasitas Labkesda yang berpotensi memperlambat kegiatan tracing di Puskesmas.

Mengingat kegiatan tracing juga akan sangat bergantung pada kapasitas testing. Selain itu, kami juga melihat bahwa Pemprov belum berupaya untuk memperkuat sumber daya Puskesmas untuk melakukan tes massal dan pelacakan kasus dengan menambah jumlah tenaga tracer kita – agar dalam hal pelacakan kasus kita tidak kewalahan.

Oleh karena itu, Fraksi PSI meminta Pemprov DKI untuk memberikan informasi detail alokasi anggaran tersebut hingga level kegiatan agar kami dapat menjalankan fungsi pengawasan anggaran dengan baik. Mohon Tanggapan.

2. Mengenai Pelaksanaan dan Keberlanjutan Program Prioritas
Dalam pelaksanaan program prioritas seperti KJP, KJL, Bantuan Sosial Tunai dan Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta di 2020, Fraksi PSI menyoroti keterlambatan pencairan.

yang mengakibatkan banyak masyarakat yang harus menunggu pencairan dana tersebut sampai lebih dari 1 bulan. Hal ini perlu menjadi catatan bagi Pemprov DKI agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

Selain itu, Fraksi PSI juga meminta agar program penebusan ijazah di 2020 dapat terus dilanjutkan di 2021, mengingat pada masa pandemi ini banyak siswa yang keluarganya kehilangan mata pencaharian, sehingga berimbas pada tunggakan-tunggakan siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah.

Ijazah menjadi penting karena merupakan syarat dalam mendaftar sekolah di tingkat berikut maupun untuk mendaftar lowongan pekerjaan.

3. Penggunaan SILPA untuk Penanganan Pandemi, Pemulihan Ekonomi, atau Pengembalian Dana Cadangan Daerah didalam APBD 2020 terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp5,165 Triliun. SILPA tersebut terdiri dari surplus anggaran sebesar Rp 3,80 triliun dan pembiayaan neto Rp 1,37 triliun.
Di sisi lain, Pemprov DKI mencairkan Dana Cadangan Daerah sebesar Rp 1,47 triliun.

Alasan yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada 14 September 2020 yang lalu adalah dikarenakan adanya dampak Covid-19 sangat memukul perekonomian Jakarta, sehingga berimbas pada penurunan penerimaan daerah.

Keberadaan SILPA sebesar Rp 5,17 triliun membuktikan bahwa Pemprov DKI tidak membutuhkan Dana Cadangan Daerah. Kami meminta agar Dana Cadangan Daerah yang telah dicairkan itu jangan
menganggur.

Sebaiknya Pemprov DKI menggunakan dana tersebut untuk menangani pandemi dan dampak ekonominya, misalnya insentif vaksinasi untuk percepatan menuju herd immunity, tes antigen gratis, membantu warga isolasi, pemberian stimulus fiskal bagi pelaku usaha berupa keringanan relaksasi pajak dan/atau retribusi terkhusus bagi pelaku usaha yang dapat memastikan 85% atau bahkan lebih karyawannya telah tervaksin.

Namun demikian, apabila Dana Cadangan Daerah yang telah dicairkan tersebut dipakai untuk program-program yang tidak jelas urgensinya selain untuk keperluan menangani pandemi, maka kami meminta agar Pemprov DKI mengembalikan Dana Rp 1,47 triliun tersebut ke dalam Dana Cadangan Daerah. Agar DKI memiliki ketahanan keuangan daerah yang baik.

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati. Selain tiga poin di atas, dalam kesempatan ini, kami juga menyoroti beberapa poin lainnya:

1. Revisi Studi Kelayakan Formula E sesuai Rekomendasi BPK Pemprov DKI telah membayar fee Formula E sebesar Rp 560 miliar yang terdiri dari Rp 360 miliar pada APBD 2019 untuk acara tahun 2020 dan Rp 200 miliar pada APBD 2020 untuk acara tahun 2021.

Sementara itu, di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan rekomendasi agar Jakprodan Pemprov DKI melakukan revisi studi kelayakan (feasibility study/FS).

Menurut BPK – studi kelayakan yang dikerjakan oleh Jakpro belum memasukkan biaya Rp 560 miliar
yang telah dibayar Pemprov DKI dalam perhitungan feasibilitynya, yang mana jika biaya Rp 560 miliar tersebut diperhitungkan maka jelas akan mempengaruhi hasil akhir dari feasibility study dari kegiatan Formula E tersebut. Bisa jadi tidak feasible atau tidak layak dijalankan.

Kami ingin menanyakan, apakah Pemprov DKI telah selesai melakukan revisi studi kelayakan Formula E sesuai dengan rekomendasi BPK? Jika sudah, maka kami minta agar hasil studi tersebut dibuka ke publik dengan transparan.
Mohon Tanggapan.

2. Tentang Pengembalian Commitment Fee Formula E beserta Bunganya Pemprov DKI telah membayar fee Formula E Rp 560 miliar sejak 1,5 tahun yang lalu, namun pelaksanaan acara tidak kunjung dilakukan.

Oleh karena itu, uang Rp560 miliar tersebut mengendap dan menghasilkan nilai bunga yang cukup besar.

Pertanyaannya, siapa yang berhak terhadap uang bunga tersebut?
Kita asumsikan bunga deposito 4% saja dikali dengan 560 miliar per tahun, maka bunga tersebut bisa memberikan 2.200.000 porsi makanan siap saji bagi
masyarakat DKI yang saat ini sedang kelaparan karena kehilangan mata
pencaharian.

Masak kita biarkan saja bunga tersebut diberikan seenaknya kepada pihak asing? Apa ini yang Pak Gubernur katakan sebagai keberpihakan bagi rakyat yang kelaparan? Jangan sembunyi tolong jawab hal ini Pak Gubernur, masyarakat perlu tahu, kemana uangnya digunakan.

Telah berkali-kali pula, kami sebagai wakil rakyat berdiri di rapat paripurna ini menanyakan nasib uang rakyat kami, namun tidak ada satu pun penjelasan terkait hal ini keluar dari lisan maupun tulisan Pak Gubernur.

Untuk menghindari masalah di kemudian hari, kami meminta agar Pemprov DKI segera mengembalikan uang Formula E Rp 560 miliar beserta bunga-bunganya. Tunjukan kepada kami keberpihakan yang sesungguhnya bukan sekedar lip service belaka.

Wewenang Dinas Pemuda dan Olahraga dalam Membayar Fee Formula E Kontrak penyelenggaraan Formula E adalah antara BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Formula E Operations Limited (FEO). Namun demikian, Dinas Pemuda dan Olahraga adalah pihak yang mengeluarkan uang untuk membayar fee Formula E Rp 560 miliar.

Pertanyaannya, apakah Dinas Pemuda dan Olahraga punya kewajiban kontraktual di dalam kontrak untuk membayar fee Formula E?

Maka segala pembayaran oleh Dinas Pemuda Olahraga merupakan suatu pembayaran yang tidak terutang dan dapat dikembalikan, setidaknya hal ini diatur dalam Pasal 1359 ayat 1 KUHPerdata tentang Pembayaran tidak terutang atau (onverschuldidge Betaling) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang: apa yang telah dibayarnya dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali.”

Setidaknya hal ini merupakan hukum Indonesia yang berlaku, namun ketentuan kami menyayangkan bahwa Tim Hukum Pemprov tampaknya gagal dalam menegosiasikan penggunaan hukum Indonesia sebagai Governing Law dalam kontrak dengan FEO, padahal jelas Pemprov adalah pihak yang memiliki posisi tawar yang jauh lebih tinggi sebagai pihak yang melakukan pembayaran dengannilai fantastis.

4. Membuka Data Pengadaan Tanah 70 Hektar di Sarana Jaya, Pada tahun 2020, BUMD Sarana Jaya mendapatkan penyertaan modal sebesar Rp950 miliar untuk program DP Rp 0.

Sebagian dari uang tersebut digunakan untuk pengadaan tanah, sehingga total hasil pengadaan tanah di Sarana Jaya mencapai 70 hektar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan korupsi pada pengadaan tanah seluas 4,2 hektar di Munjul, Jakarta Timur. Oleh karena itu, wajar jika publik bertanya-tanya, jangan-jangan pengadaan tanah yang lain seluas 65,8 Hektar juga ikut bermasalah. Komisi B DPRD telah meminta agar Pemprov DKI membuka data pengadaan tanah 70 hektar di Sarana Jaya.

Namun entah mengapa Pemprov DKI tidak mau membuka data tersebut.

Jika tidak memang tidak ada masalah yang disembunyikan maka Pemprov DKI tidak perlu takut membuka data, dan bagaimana pertanggungjawaban APBD 2020 dapat dikatakan akuntabel jika bermasalah dalam keterbukaannya bahkan terindikasi korupsi sebagaimana sedang diproses di KPK.

5. Penjelasan Peruntukan Tanah Munjul Selain dugaan korupsi pengadaan tanah di Sarana Jaya, kami juga menemukan indikasi fakta bahwa tanah di Munjul seluas 4,2 hektar tidak bisa digunakan untuk membangun rusun DP Rp 0. Jika dilihat di Lampiran Peta Perda No.1 Tahun 2014 terkait RDTR dan PZ, sekitar 60 persen tanah berada di zonasi Hijau Rekreasi (H.7) merupakan kawasan yang
didominasi areal hijau untuk fungsi ekologis dan resapan dan ketinggian bangunan maksimalnya juga hanya 2 lantai dan tidak diizinkan ada rumah susun.

Jadi ini hal yang sangat teramat aneh dan mencurigakan, bagaimana cara proses pengambilan keputusannya?

Masa membeli tanah untuk rusun tapi dikawasan zonasi Hijau? Dengan maksimal ketinggian 2 lantai? Wajar jika kami di PSI curiga.

Kemudian, 40 persen tanah yang dibeli Sarana Jaya berada di zonasi residensial R.9 dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) rendah dan ketinggian bangunan
maksimal 3 lantai.

Selain itu, tanah tersebut berada di sebelah Lapangan Terbang Wiladatika yang digunakan untuk pesawat kecil dan helikopter.

Jika Sarana Jaya akan melakukan pembangunan di atas tanah tersebut, maka penentuan ketinggian bangunan harus memperhatikan ketentuan teknis terkait Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan atau KKOP yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, contohnya UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sebagaimana telah diubah dalam UU Ciptakerja. Adapun batasan-batasan pendirian ketinggian bangunan juga diatur dalam peraturan tersebut, dan ada sanksi-sanksi pidana jika pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan teknis ketinggian bangunan dan ketentuan teknis lainnyakarena dinilai dapat membahayakan penerbangan.

Pertanyaannya:

  • Sebenarnya tanah ini akan digunakan untuk apa sih?
  • Apakah untuk rusun, rumah tapak, atau taman?
  • Gubernur menugaskan Sarana Jaya membangun ribuan unit rusun DP 0, tapimengapa membeli lahan hijau di dekat lapangan terbang yang tidak mungkin untuk dibangun, tapi masalahnya uangnya sudah keluar bukankah ini jelas penggunaan anggaran yang melanggar hukum?

Hal-hal itu sudah kami tanyakan di rapat Komisi B DPRD pada bulan Maret yang lalu, tapi entah mengapa pihak Sarana Jaya tidak mau menjawab. Kami mohon agar Pak Gubernur berkenan menjelaskan peruntukan tanah di Munjul tersebut.
Mohon Tanggapan. (***)

Advertisement