Faktor Ketum IKA Unhas di Pemilihan Rektor

0
FOTO: Yarifai Mappeaty‎ Alumni Unhas
FOTO: Yarifai Mappeaty‎ Alumni Unhas.

‎Oleh: Yarifai Mappeaty
‎Alumni Unhas

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, ‎Pemilihan rektor, agenda empat tahunan Unhas itu kembali dihela. Ada enam balon (bakal calon) rektor yang berhasil dijaring oleh Panitia Pemilihan. Mereka adalah Prof. Jamaluddin Jompa (JJ) ; Prof. Budu; Prof. Muhammad Iqbal Djawad; Prof. Sukardi Weda; Prof. Marhaen Hardjo dan Dr. Zulfajri Basri Hasanuddin.

‎Merujuk pada kalender Pemililhan Rektor Unhas, pemilihan calon rektor oleh 94 Anggota Senat Akademik, tinggal menghitung hari. Tiga balon yang mendapatkan suara terbesar akan ditetapkan sebagai calon rektor, kemudian diajukan kepada Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas untuk dipilih menjadi rektor untuk periode 2026 – 2030.

‎Kapasitas para balon rektor itu tentu tak perlu lagi diragukan. Mereka semua adalah sosok terbaik yang pernah dilahirkan Unhas. Tengok gelar yang disandangnya, sudah menyundul langit. Itu sebabnya penulis tak mau ikut latah membandingkan antara satu dengan yang lain. Pokoknya lebih hebat dari pada mereka yang tak punya nyali untuk ikut berkontestasi.

‎Pemilihan Rektor Unhas ini tampaknya cukup menyita perhatian masyarakat secara luas. Terbukti selalu menjadi percakapan pada setiap ada momen berkumpul. Saat menghadiri acara wisuda di GOR Unhas, Senin, 27/10/2025 lalu, misalnya, Penulis sempat menguping sebuah diskusi kecil oleh sekelompok pendamping wisudawan. Jam dinding di GOR kala itu baru menunjukkan pukul 07.30. Artinya, setengah jam lagi acara dimulai.

‎“Ini pertarungan Prof. JJ dengan Prof. Budu,” ujar seseorang yang tak jauh dari Penulis berdiri. Mendengar itu, Penulis menggeser badan untuk mencoba lebih dekat. Setelah lama menyimak, Penulis pun dapat mengidentifikasi kalau mereka semua adalah akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Seperti Penulis, mereka hadir di acara itu untuk mendampingi putra atau putrinya di wisuda.

‎“Siapa nanti yang keluar sebagai pemenang, tergantung kemana Ketum IKA Unhas berpihak,” lontarnya lagi membuat Penulis sedikit terkesiap. Tak pelak, lontaran itu membuat diskusi menjadi hangat, dan sosok Ketua Umum IKA Unhas, Andi Amran Sulaiman, pun menjadi topik percakapan.

‎“Masalahnya, apakah Andi Amran mau cawe-cawe?” dia kembali memancing.

‎“Kapasitas Andi Amran itu terlalu besar untuk mengurusi pemilihan rektor. Memang kurang kerjaan apa?” tanggap rekan disebelahnya.

‎“Tugas negara yang diembannya selaku Menteri Pertanian dan Kepala Bapanas, sudah cukup menyita waktu dan perhatiannya. Tidak ada waktu lagi baginya untuk cawe-cawe,” sambung yang lain.

‎“Sebagai tokoh nasional, beliau harus menjadi perekat, sehingga tak boleh memihak. Toh, siapapun nanti pemenangnya tetap akan datang sowan kepadanya,” tambah yang lain lagi tak mau ketinggalan.

‎Diskusi itu kian seru, bersahut-sahutan, sampai terjadi ngotot-ngototan. Bukan karena terjadi pro dan kontra. Melainkan rebutan bicara untuk menjelaskan siapa Andi Amran Sulaiman. Mereka seakan berlomba untuk memberi kesan paling tahu tentang sosok Ketua Umum BP KKSS itu. Menyaksikan kekonyolan mereka membuat penulis sedikit terhibur karena merasa geli.

‎Ah, sayang, percakapan harus berhenti tatkala terdengar bunyi logam menghentak di lantai. Tak lama, rombongan Rektor dan Ketua Senat Akademik Unhas tampak memasuki ruangan, lengkap dengan pakaian kebesaran, dan acara pun dimulai.

‎Tetapi Penulis tak bisa benar-benar fokus mengikuti acara wisuda. Sebab sejumlah lontaran dalam diskusi tadi masih terngiang. Jujur, Penulis juga punya pendapat yang sama, bahwa sekiranya Ketua Umum IKA Unhas itu mau cawe-cawe, maka hasil akhir pemilihan rektor Unhas tergantung siapa yang ia inginkan.

‎Coba kita kalkulasi. Sebagai Ketua Umum IKA Unhas, ia memiliki hak pilih. Sebagai kakak kandung Andi Sudirman Sulaiman, ia pun dapat mengamankan satu suara Gubernur Sulsel. Sebagai Menteri Pertanian sekaligus Kepala Bapanas, Ia adalah kolega Prof. Brian Yuliarto, Menristekdikti. Apakah mungkin Prof. Brian bisa menolak sekiranya Andi Amran meminta suara Menristekdikti?

‎Masih dalam kapasitas yang sama, ia pun dapat melobbi tiga Anggota MWA dari unsur masyarakat, yaitu : Tony Wenas, Arsyad Rasyid, dan Bahlil Lahadalia. Jika dijumlahkan semuanya, Ketum IKA Unhas itu akan mengantongi suara lebih dari separuh jumlah Anggota MWA. Dengan demikian, pemilihan Rektor Unhas kali ini akan “game over” di tangannya.

‎Sebagai Ketua Umum IKA Unhas, posisi Andi Amran dalam hal ini mengingatkan kita pada Jusuf Kalla selaku Ketua Umum IKA Unhas saat pemilihan Rektor Unhas 2014 yang dimenangkan Oleh Prof. Dwia Aries Tina. Saat itu, meski berada di luar pemerintahan, pengaruh sosok yang dipanggil Pak JK itu, masih sangat kuat. Faktor “Pak JK” itulah yang dipercaya memenangkan Prof. Dwia.

‎Kendati hal itu coba ditepis oleh orang-orang yang terafiliasi dengan Jusuf Kalla, namun tetap tak mampu mengubah persepsi publik. Sebab analoginya cukup sederhana, memangnya Prof. Dwia mampu mengalahkan Prof. Wardihan Sinrang atau Prof. Irawan Yusuf tanpa “campur tangan” Jusuf Kalla? Memang apa hubungannya? Prof. Dwia itu adalah adik ipar Jusuf Kalla.

‎Kala itu, faktor Jusuf Kalla memang dapat dimaklumi oleh sebagian orang, tetapi tidak bagi sebagian yang lain. Buktinya, kemenangan Prof. Dwia digugat oleh 26 Guru Besar Unhas karena 35% suara Menteri yang digunakan dalam pemilihan, dianggap cacat yuridis. Padahal sebenarnya yang digugat bukan itu, melainkan karena Jusuf Kalla yang dinilai nepotis.

‎Namun pada konteks ini, Andi Amran Sulaiman bukan Jusuf Kalla. Ia sama sekali tak punya hubungan kekerabatan apapun dengan semua balon rektor, sehingga tidak ada alasan baginya untuk cawe-cawe. Lagi pula, relevan dengan itu, Penulis teringat sebuah petuah yang kerap ia lontarkan saat duduk bareng usai salat berjamaah: “Aja’ mualangngi lasa alemu kamase.”

‎Oleh karena itu, Penulis lebih percaya kalau Ketua Umum IKA Unhas itu akan lebih memilih bersikap netral, sembari menunggu siapa yang unggul dalam pemilihan calon rektor Unhas oleh Senat Akademik. Mengapa? Karena ia tentu menyadari akan konsekuensi dari pada memihak, yaitu, menciptakan musuh.

‎Sedangkan baginya, satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Itu sebabnya ia selalu berpesan agar jangan mencari musuh. Begitu pula prinsipnya “taro ada taro gau” yang kerap ia ungkapkan, membuat Penulis semakin yakin kalau Ketua Umum IKA Unhas itu tetap bergeming bersikap untuk tidak berpihak.

‎Pesannya sekali lagi, “Aja’ musappa lasa.”

Advertisement